Kamis, 30 Oktober 2014

Penulis Tak Boleh Bicara Politik?

Seorang teman menulis status di facebooknya, menyebut nama seorang penulis yang sekarang lebih sering bicara politik. Dia mempertanyakan, "apakah penulis itu sekarang sudah tidak menulis buku lagi? Kok "ngomongin" politik melulu?" Nah, lho....! Apakah itu maksudnya penulis tidak boleh "ngomongin" politik? Lalu, apa yang ditulis oleh penulis? 


Sebagai penulis, saya sendiri amat jarang ngomongin politik, karena merasa itu bukan bidang saya. Sok ngerti-ngertian politik, secara saya jarang nonton atau baca berita. Kalau baca berita pun, lebih suka baca infotainment, ahahaha.... atau berita kriminal (sadis amat, yaak?). Berita politik hanya nonton yang sedang panas-panasnya saja, tapi jarang banget sih memang. Waktu pemilihan presiden, saya nonton untuk meyakinkan pilihan saja. Wajar deh kalau saya tidak begitu mengenal kedua calon presiden beserta seluruh sepak terjangnya di dunia politik. 

Penulis juga warga negara Indonesia yang memiliki hak politik. Menurut saya, tidak ada salahnya penulis ngomongin politik. Jika tulisan-tulisannya mengganggu kita, kita gunakan pengendalian diri sendiri saja. Jangan membaca tulisan-tulisannya! Di era kebebasan ini, sah-sah aja orang mau ngomong apa, termasuk penulis. Kecuali, bila dianggap melanggar hukum, nah itu urusan penegak hukum deh. 

Pramoedya
Biografinya baca di wikipedia
Berbicara tentang penulis yang ngomongin politik, justru sastrawan-sastrawan zaman dulu bersikap kritis terhadap penguasa (pemerintah), bahkan mereka sudah biasa meringkuk di dalam penjara. Sebut saja, Pramoedya Ananta Toer, yang berkali-kali ditahan sebagai TAHANAN POLITIK. Pram menghabiskan masa 3 tahun dalam tahanan penjara kolonial, 1 tahun ditahan oleh pemerintah orde lama, dan yang lebih heboh adalah ditahan selama 14 tahun oleh pemerintah orde baru! Tahu sendiri kan di masa orde baru, kita sama sekali tidak bebas berpendapat. Saya mengalami sendiri masa itu, Dunia dalam Berita (TVRI) selalu memberitakan hal-hal baik saja mengenai pemerintah Orba, sehingga kelihatannya pemerintah bekerja dengan baik. Kalau ada media yang memberitakan keburukan pemerintah, langsung deh kena bredel. Dalam novel-novel fiksinya, Pramoedya menyuarakan penentangan-penentangan terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Nah!

Dan jangan lupakan sastrawan ternama: Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka atau Buya Hamka, seorang sastrawan Indonesia, ulama, ahli filsafat, dan AKTIVIS POLITIK. Sengaja saya besarkan semua itu kata "aktivis politik" untuk menegaskan bahwa beliau juga berpolitik. Sejak muda, beliau telah aktif di politik. Sikapnya yang konsisten terhadap ajaran agama, acapkali bertentangan dengan pemerintah, sehingga beliau dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964-1966. Di dalam penjara pula ia menulis buku fenomenal "Tafsir Al Azhar."

Buya Hamka
silakan baca biografinya di wikipedia

Terlepas dari dua ideologi berbeda yang diusung oleh Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, kita melihat bahwa sastrawan zaman dulu menulis untuk menyuarakan isi hati, meskipun itu berakibat penjara. Mereka menulis nilai-nilai mereka yakini, termasuk dalam hal POLITIK.  Tidak seperti sastrawan sekarang (termasuk saya deh) yang nulis apa aja asal ada duitnya (hadeeuuh... nyeri hate....). Saya masih jauh deh untuk nulis tentang politik. Kalau ada penulis lain yang ngomongin politik melulu, lalu kenapa? Toh, Pram dan Hamka pun ngomongin politik. Sekarang tinggal bertanya kepada diri sendiri yang mengaku penulis: sudah menulis apa hari ini? 








Minggu, 26 Oktober 2014

Novel Aku, Juliet di Indomaret Lamongan dan Makassar

Dapat kiriman foto dari Mbak Triana Dewi (Lamongan) dan Mbak Marissa Agustina (Makassar) kalau novel Aku, Juliet dipajang di Indomaret di sana. Wuiih... padahal, saya aja belom nemuin di Indomaret Citayam (Bogor). Dulu, kata Mbak Editor, Aku Juliet hanya masuk Indomaret Jabodetabek, tapi rupanya ada di luar Jabodetabek juga. Alhamdulillah, seneng banget dapat kabar ini. Semoga dengan begitu, novel ini jadi lebih mudah menyapa pembacanya. Kalau hanya di toko buku besar, tidak semua pembaca bisa mendapatkannya. 


Bagi teman-teman yang menemukan novel Aku, Juliet di Indomaret di daerahnya, boleh dong dibagi fotonya ke saya, xixixix... Eh, boleh banget kalau novelnya dibawa pulang juga, jangan lupa dibayar lho. Harga, insya Allah terjangkau :D


Aku Juliet di Indomaret Makassar

Aku Juliet di Indomaret Lamongan, Jawa Timur

Jumat, 24 Oktober 2014

Kuis Novel Dag, Dig, Dugderan

Alhamdulillah, akhirnya tiba giliran saya untuk membuat kuis novel di twitter @BAWCommunity. Yuk, temans ikut meramaikan kuis novelku ini. Caranya mudah banget:

  1. Follow twitter @LeylaHana dan @BAWCommunity
  2. Bagikan kover novel Dag, Dig, Dugderan ke tiga orang teman dengan menggunakan kalimat: "Yuk, ikut kuis novel #DagDigDugderan." 
  3. Jawab pertanyaan: Apa yang akan kaulakukan bila mendapatkan halangan dalam meraih impian?
  4. Format jawaban: [Jawaban] @BAWCommunity @LeylaHana #DagDigDugderan.
  5. Boleh jawab sebanyak-banyaknya, lho...
  6. Deadline Senin, 27 Oktober 2014.
  7. Ada 2 pemenang.
Hadiah 1: Novel terbaru Dag, Dig, Dugderan + tanda tangan penulis.


Hadiah 2: Ada paket novel berisi 3 novel lawasku.


Ditunggu partisipasinya ya, temans... :-)

Senin, 20 Oktober 2014

Roti Maryam, Makanan Kesukaan Farah "Dag, Dig, Dugderan."

Roti Maryam
Sumber gambar: Roti Maryam

Dua jam kemudian, roti maryam yang bentuknya mirip obat nyamuk bakar itu pun matang. Ummi menyisihkan tiga keping roti maryam beserta semangkuk kecil gula halus, berniat memberikan kejutan untuk Farah yang sudah lama mendekam di dalam kamar untuk belajar Matematika. Pelan, diketuknya pintu, ternyata tidak dikunci. Ummi masuk ke dalam kamar Farah dengan senyum semringah. Farah sedang mengerjakan latihan-latihan soal Matematika dengan tekun.

“Nah, ini dia pelurunya, dimakan dulu ya, Nduk….” Ummi meletakkan piring roti maryam di sebelah Farah.
Farah membelalakkan mata. Roti kesukaannya!
“Ah, Ummi….”
“Lho, kenapa?”
“Ummi menggoda saja…..” Farah menutup mata. Agaknya gula darahnya sudah terjun drastis karena belum ada glukosa yang masuk ke saluran pencernaannya. Dia sengaja berdiet, dan Ummi malah menggodanya dengan roti maryam yang bau menteganya menerbitkan air liur. Cacing-cacing di perutnya ikut bernyanyi keroncong, berteriak-teriak dengan irama tak beraturan dan membisingkan telinga.
“Perutmu bunyi to, Nduk?” tanya Ummi lagi.
Farah mengangguk.  

Hiyaaaa... membaca ulang novel Dag, Dig, Dugderan pas adegan Roti Maryam, saja jadi kangen sama makanan ituh. Adegan di atas ada di dalam novel terbaru saya lho. Inspirasi memasukkan Roti Maryam sebagai salah satu makanan kesukaan Farah (tokoh utama berdarah Arab), datang dari makanan yang pernah beberapa kali dibawakan oleh suami setiap pulang kantor. Enak banget rotinya, bentuknya seperti obat nyamuk. Tidak begitu manis, tapi renyah. 
Sayang, sekarang tukang rotinya udah nggak ada, kata suami. Entah ke mana. Harganya satu keping Rp 4.000,- tapi ukurannya besar. Makan satu aja udah kenyang karena adonanannya juga padat. Ada resep untuk membuatnya, tapi masih males mencoba. Saya lebih sering gagal masak kue, mending makannya aja deh. Jiyaaah.... 
Aduuuh... kangen banget nih sama Roti Maryam. Mudah-mudahan bisa ketemu lagi. Atau ada yang mau ngirimin ke rumah saya? :D

Tersedia di toko buku, Rp 43.000,-









Minggu, 19 Oktober 2014

Resensi Novel Aku, Juliet di Tribun Kaltim

Alhamdulillah, resensi novel Aku, Juliet, akhirnya dimuat juga di media, koran Tribun Kaltim. Terima kasih, Hairi Yanti, yang sudah berkenan mengirimkannya ke sana. Semoga kapan-kapan ada teman yang bersedia meresensikan novelku lagi dan mengirimkannya ke media :-))




Koran Tribun Kaltim, Minggu, 19 Oktober 2014