Seorang teman menulis status di facebooknya, menyebut nama seorang penulis yang sekarang lebih sering bicara politik. Dia mempertanyakan, "apakah penulis itu sekarang sudah tidak menulis buku lagi? Kok "ngomongin" politik melulu?" Nah, lho....! Apakah itu maksudnya penulis tidak boleh "ngomongin" politik? Lalu, apa yang ditulis oleh penulis?
Sebagai penulis, saya sendiri amat jarang ngomongin politik, karena merasa itu bukan bidang saya. Sok ngerti-ngertian politik, secara saya jarang nonton atau baca berita. Kalau baca berita pun, lebih suka baca infotainment, ahahaha.... atau berita kriminal (sadis amat, yaak?). Berita politik hanya nonton yang sedang panas-panasnya saja, tapi jarang banget sih memang. Waktu pemilihan presiden, saya nonton untuk meyakinkan pilihan saja. Wajar deh kalau saya tidak begitu mengenal kedua calon presiden beserta seluruh sepak terjangnya di dunia politik.
Penulis juga warga negara Indonesia yang memiliki hak politik. Menurut saya, tidak ada salahnya penulis ngomongin politik. Jika tulisan-tulisannya mengganggu kita, kita gunakan pengendalian diri sendiri saja. Jangan membaca tulisan-tulisannya! Di era kebebasan ini, sah-sah aja orang mau ngomong apa, termasuk penulis. Kecuali, bila dianggap melanggar hukum, nah itu urusan penegak hukum deh.
Pramoedya Biografinya baca di wikipedia |
Berbicara tentang penulis yang ngomongin politik, justru sastrawan-sastrawan zaman dulu bersikap kritis terhadap penguasa (pemerintah), bahkan mereka sudah biasa meringkuk di dalam penjara. Sebut saja, Pramoedya Ananta Toer, yang berkali-kali ditahan sebagai TAHANAN POLITIK. Pram menghabiskan masa 3 tahun dalam tahanan penjara kolonial, 1 tahun ditahan oleh pemerintah orde lama, dan yang lebih heboh adalah ditahan selama 14 tahun oleh pemerintah orde baru! Tahu sendiri kan di masa orde baru, kita sama sekali tidak bebas berpendapat. Saya mengalami sendiri masa itu, Dunia dalam Berita (TVRI) selalu memberitakan hal-hal baik saja mengenai pemerintah Orba, sehingga kelihatannya pemerintah bekerja dengan baik. Kalau ada media yang memberitakan keburukan pemerintah, langsung deh kena bredel. Dalam novel-novel fiksinya, Pramoedya menyuarakan penentangan-penentangan terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Nah!
Dan jangan lupakan sastrawan ternama: Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka atau Buya Hamka, seorang sastrawan Indonesia, ulama, ahli filsafat, dan AKTIVIS POLITIK. Sengaja saya besarkan semua itu kata "aktivis politik" untuk menegaskan bahwa beliau juga berpolitik. Sejak muda, beliau telah aktif di politik. Sikapnya yang konsisten terhadap ajaran agama, acapkali bertentangan dengan pemerintah, sehingga beliau dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964-1966. Di dalam penjara pula ia menulis buku fenomenal "Tafsir Al Azhar."
Buya Hamka silakan baca biografinya di wikipedia |
Terlepas dari dua ideologi berbeda yang diusung oleh Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, kita melihat bahwa sastrawan zaman dulu menulis untuk menyuarakan isi hati, meskipun itu berakibat penjara. Mereka menulis nilai-nilai mereka yakini, termasuk dalam hal POLITIK. Tidak seperti sastrawan sekarang (termasuk saya deh) yang nulis apa aja asal ada duitnya (hadeeuuh... nyeri hate....). Saya masih jauh deh untuk nulis tentang politik. Kalau ada penulis lain yang ngomongin politik melulu, lalu kenapa? Toh, Pram dan Hamka pun ngomongin politik. Sekarang tinggal bertanya kepada diri sendiri yang mengaku penulis: sudah menulis apa hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar