RA KARTINI |
Telingaku bagai tersengat aliran listrik mendengar kalimat Ibu tadi. Benar seperti yang telah dikatakan oleh saudara-ssaudaraku. Ketika usiaku menginjak 12 tahun, aku harus siap untuk dipingit. Ya, dipingit! Aku tidak boleh ke luar rumah lagi, terlebih untuk menuntut ilmu. Yang lebih mengerikan, aku harus siap dijodohkan!
"Ada seorang penggede yang ingin menikahimu, Nduk..." beberapa hari kemudian, setelah aku dipingit, tebakanku menjadi kenyataan. Tubuhku bergetar, bulu kudukku meremang. Rasa takutku semakin menjadi. Tak cukup terkurung dalam sangkar emas, aku pun dipaksa menerima perjodohan!
"Kau akan menjadi istri dari Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat...." Ibu belum selesai berbicara. Andai saja aku tak perlu mendengar kalimat selanjutnya... "...kau akan menjadi istri keempatnya!"
Cukup sudah! Kesedihanku pun purna. Di usia 12 tahun, aku dilarang ke luar rumah. Aku tak bisa lagi sekolah bersama teman-teman wanitaku yang berkulit putih, aku tak bisa berbagi cerita bersama teman-teman lelaki pribumi, aku bahkan tak boleh berkeliaran di luar rumah. Belum cukup kesedihanku itu, aku akan dinikahkan dengan seorang lelaki yang usianya 20 tahun lebih tua dan sudah memiliki tiga orang istri!
Oh, Tuhan.... beginikah nasib kaum wanita di bumi Hindia Belanda? Adat dan tradisi mengekang kami. Salahkah aku menuntut ilmu? Agar aku menjadi wanita yang cerdas. Agar aku menjadi ibu yang cerdas. Ya, aku tak ingin sekadar menikah dan menjadi ibu ala kadarnya. Bukankah ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya? Begitu yang kudengar dari ceramah guru mengaji yang didatangkan Romo setiap sore. Kaum wanita juga harus menuntut ilmu. Islam tidak melarang wanita menuntut ilmu, sebab wanita kelak akan menjadi ibu yang mengajari anak-anaknya untuk pertama kali.
Teriakan dan protesku berpantulan ke dinding. Kuambil kertas dan mulai mencurahkan isi hatiku dalam bentuk surat. Syukurlah, aku punya kesempatan sekolah walau hanya sebentar, sehingga aku sudah bisa menulis dan membaca. Kukirim surat kepada sahabat-sahabat Eropaku, mengecam ketidakadilan yang menimpa wanita pribumi. Apakah wanita diciptakan hanya untuk menjadi konco wingking (teman di dapur) kaum pria? Jika aku hendak dinikahkan dan kelak menjadi ibu, aku tak ingin hanya menjadi ibu yang "biasa." Aku ingin menjadi ibu yang "luar biasa" di mata anak-anakku.
Bogor, 2014
Anak-anak bermain di sekitarku, sementara kedua tanganku sibuk mengetik di laptop. Di sela tugas mengasuh anak, aku sempatkan untuk menulis, menuangkan isi pikiranku. Kubaca kembali riwayat Kartini yang meninggal di usia muda, 25 tahun. Aku ingat, di usia 25 tahun itu, aku baru menikah. Usia 26 tahun, aku melahirkan si sulung. Usia 27 tahun, aku melahirkan anak kedua. Dan di usia 30 tahun, aku melahirkan anak ketiga.
Kini, aku sibuk mengurus anak. Anak-anak yang menyita stok kesabaran dan kelembutanku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan kantor, sebulan setelah menikah karena ingin fokus mengasuh anak. Aku bersyukur tak harus menikah di usia 12 tahun dan bisa menyelesaikan kuliah di usia 22 tahun. Tak terbayangkan bila aku masih hidup pada zaman Kartini. Barangkali aku sudah memiliki belasan anak di usia 30 tahun, sebagaimana ibu-ibu zaman dulu. Sementara suamiku bukanlah milikku seorang. Barangkali aku juga tidak tahu bagaimana mengajari anak-anakku, karena aku tidak sekolah sampai tuntas.
Dan yang utama, barangkali aku tidak bisa menulis. Aku tak bisa menuangkan isi hati dan pikiranku. Aku tak bisa punya karya, yang kuhasilkan sembari mengasuh anak.
Terima kasih, Ibu Kartini. Perjuanganmu mengangkat wanita Indonesia agar bisa menjadi ibu yang cerdas, kini telah banyak menorehkan hasil. Walaupun masih banyak wanita yang belum mendapatkan pendidikan dan derajat kehidupan sebagaimana yang kauimpikan. Aku tahu... perjuangan kaum wanita masihlah panjang.... untuk menjadi ibu yang cerdas dan berarti, tak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga orang lain.
Kini, aku sibuk mengurus anak. Anak-anak yang menyita stok kesabaran dan kelembutanku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan kantor, sebulan setelah menikah karena ingin fokus mengasuh anak. Aku bersyukur tak harus menikah di usia 12 tahun dan bisa menyelesaikan kuliah di usia 22 tahun. Tak terbayangkan bila aku masih hidup pada zaman Kartini. Barangkali aku sudah memiliki belasan anak di usia 30 tahun, sebagaimana ibu-ibu zaman dulu. Sementara suamiku bukanlah milikku seorang. Barangkali aku juga tidak tahu bagaimana mengajari anak-anakku, karena aku tidak sekolah sampai tuntas.
Dan yang utama, barangkali aku tidak bisa menulis. Aku tak bisa menuangkan isi hati dan pikiranku. Aku tak bisa punya karya, yang kuhasilkan sembari mengasuh anak.
Terima kasih, Ibu Kartini. Perjuanganmu mengangkat wanita Indonesia agar bisa menjadi ibu yang cerdas, kini telah banyak menorehkan hasil. Walaupun masih banyak wanita yang belum mendapatkan pendidikan dan derajat kehidupan sebagaimana yang kauimpikan. Aku tahu... perjuangan kaum wanita masihlah panjang.... untuk menjadi ibu yang cerdas dan berarti, tak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar