Rabu, 17 Desember 2014

Membawa Buku Hingga ke Pelosok

Rumah Cahaya Penjaringan

Buku telah menjadi teman saya sejak bisa membaca. Ibu saya dulu telah membiasakan membaca buku dengan membelikan majalah seminggu sekali dan buku-buku cerita lainnya. Akibatnya, saya jadi ketagihan membaca. Saat liburan sekolah tiba, saya menyewakan koleksi buku-buku tersebut dengan menggelar Koran di depan rumah. Teman-teman menyewa dengan harga Rp 50,- per buku. Beberapa buku ada yang tidak dikembalikan. Lucunya, saat saya menagih buku itu (yang jelas-jelas di bagian dalam tertulis nama saya sebagai pemiliknya), teman saya bersikeras bahwa buku itu adalah miliknya.


Hobi membaca terus ada hingga saya dewasa. Bahkan, dari membaca pulalah saya bisa menulis dan menerbitkan buku. Uniknya, selepas kuliah S1 di Fakultas Ekonomi, saya malah diterima bekerja sebagai Editor di sebuah penerbitan, yang kemudian mempertemukan saya dengan para pegiat perpustakaan Rumah Cahaya Depok. Saya menumpang di dalam Rumah Cahaya (RumCay) Depok bersama pengurus perpustakaan. Saya tinggal bersama ratusan buku koleksi RumCay Depok.

Perpustakaan adalah tempat di mana kamu bisa membaca buku-buku secara gratis. Tujuan pembuatan perpustakaan tentu saja untuk mengembangkan minat baca di kalangan masyarakat. Saya bahagia sekali melihat Rumcay Depok didatangi oleh anak-anak, remaja, hingga orang dewasa yang hendak membaca buku di sana. Mereka bisa seharian berada di Rumcay.

Rumcay Depok menjadi perpustakaan pusat organisasi Forum Lingkar Pena dan terus menambah cabangnya di daerah. Pengurus Rumcay Depok mendatangi tempat-tempat yang akan membuka cabang Rumcay yang baru. Saya pernah ikut membuka cabang Rumcay di Bandung, Penjaringan (Jakarta Utara), dan Pekalongan. Kami mendapatkan sumbangan buku dari beberapa penerbit. Lumayan banyak juga, lho. Kami bisa membawa satu sampai dua kardus buku untuk disalurkan ke Rumah Cahaya yang baru dibuka. Setiap kali mengantarkan buku-buku itu, kami melihat wajah-wajah penuh kebahagiaan dari calon pembaca yang kebanyakan anak-anak. Melihat buku seperti melihat emas. Matanya bersinar-sinar.

Perjalanan yang paling berkesan adalah saat mengunjungi Rumah Cahaya Pekalongan, karena itu jarak terjauh yang pernah saya tempuh. Cerita komplitnya sudah ditulis di sini “Perjalanan ke Rumah Cahaya Pekalongan.” Selain ikut membuka Rumah Cahaya Pekalongan dan bertemu dengan calon-calon penulis ternama, saya juga diajak berjalan-jalan ke Pantai. Saya ingat sekali, Kota Pekalongan sangat sepi sehingga kita bisa ngebut di jalan raya hehehe…. Keberadaan Rumah Cahaya Pekalongan tentu sangat membantu mengembangkan minat baca anak-anak dan remaja, karena mereka masih kesulitan mendapatkan buku-buku.

Bersama Pengurus Rumah Cahaya Pekalongan

Salah satu penulis asal Pekalongan yang sekarang sudah menjadi seleb You Tube adalah Aveus Har (Ave), seorang penjual mie ayam yang sudah menerbitkan puluhan novel! Kisahnya bisa dijadikan inspirasi bahwa siapa pun bisa menjadi penulis. Kamu bisa melihat profilnya di video di bawah ini. Sekarang saya bangga, mengingat saya pernah bertemu langsung dengan Ave dan mendengarkan curhatnya tentang menjadi penulis. Bukan tidak mungkin, akan banyak penulis dari daerah terpencil yang berjaya di nusantara karena hobi membaca. Selama ini, masih ada anggapan bahwa profesi penulis hanya bisa dicapai oleh penulis dari kota-kota besar, karena ketersediaan akses toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di daerah terpencil, sulit menemukan toko buku, apalagi perpustakaan.


Ada seorang calon penulis yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan buku, karena ketiadaan toko buku di daerahnya. Sebenarnya tidak sulit, karena ada banyak toko buku online yang dapat mengirimkan buku hingga ke daerah. Akan tetapi, besarnya biaya ongkos kirim juga menjadi pertimbangan. Saya memiliki teman yang hobi baca dan tinggal di daerah terpencil di Kalimantan Timur. Dia selalu membeli buku di toko online, yang ongkirnya saja bisa mencapai Rp 50 ribu. Harga buku di kota-kota luar Jawa juga lebih mahal daripada di Pulau Jawa. Bisa terpaut Rp 10 Ribu sampai Rp 20 ribu.

Sebagai penulis, saya juga merasakan efek dari kurangnya minat baca terhadap penjualan buku-buku saya. Sudah lama saya tidak bergabung lagi dalam aktivitas Rumah Cahaya (sejak menikah dan punya anak), tapi saya punya mimpi untuk membuka perpustakaan juga. Sekarang ini yang bisa saya lakukan adalah memberikan buku gratis (terutama buku-buku yang baru terbit) kepada remaja-remaja melalui kuis, berhubung stok bukunya tidak banyak dan yang berminat cukup banyak. Semoga saja, dari awalnya diberikan gratis, lama-lama mereka mau membeli karena sudah suka membaca.

Harga buku semakin lama semakin tak terjangkau, sehingga banyak buku yang baru setahun terbit, eh sudah diobral. Saya antusias sekali bila ada toko buku yang berani memberikan harga jauh lebih murah daripada harga di toko lain. Keuntungan sedikit tak mengapa, asalkan yang beli banyak. Contohnya seperti penjual makanan lauk pauk di dekat sekolah anak saya. Ibu-ibu berbondong-bondong mendatangi warungnya, karena harga lauk-pauknya lebih murah dibandingkan warung makan lain. Alhasil, jualannya cepat habis. Bandingkan dengan yang mahal, sehingga tidak habis. Begitu juga dengan buku. Jika harga buku menyesuaikan daya beli, insya Allah banyak pembaca pemula yang antusias membeli.

Ah, semoga saja hobi baca dapat menjadi budaya di negara kita. Sehingga buku dapat dimasukkan dalam kategori “makanan pokok.” Ya, buku adalah makanan untuk otak kita. 













Tidak ada komentar:

Posting Komentar