Selasa, 16 Desember 2014

Hujan, Cinta, dan Cerita tentang Kita


www.enjoypic.com

Deras.
Camar segera berlari ke pelataran sebuah rumah yang pintunya masih tertutup. Ia berlindung di teras rumah itu, berharap si empunya tak mengusirnya apabila sudah keluar rumah. Dilihatnya lantai teras rumah itu yang terkotori jejak sepatunya. Ia jadi tak enak hati, tapi apa boleh buat. Sementara hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, justru semakin deras, disertai petir menggelegar. Ia menggigil dan memeluk tubuhnya. Rasa dingin masih menghinggapinya sekalipun sudah memakai baju hangat di luar baju seragamnya.


“Hmmm.. yang mau ikut MOS, datang terlambat.”
Sebuah suara datang dari arah samping. Camar menoleh dan matanya menangkap sosok seorang cowok dengan seragam putih abu-abu. Duh! Senior! Seragam mereka bisa dibedakan karena Camar masih mengenakan seragam SMP.
“Eh, Kakak...” Camar menundukkan kepala, sikapnya itu mengundang tawa rekan bicaranya.
“Tenang saja. Aku gak ikut mlonco kamu, kok. Kamu calon anak SMA Juventia, ya? Aku dari SMA Eleazar.
“Oh… ternyata Kakak siswa SMA Eleazar…” Camar baru ngeh ketika cowok itu memperlihatkan badge nama yang tertempel di lengan seragam sebelah kanannya. “Kok Kakak tahu kalau aku calon anak SMA Juventia?”
“Ya, tahu…. Di sekolahku, calon siswa SMA Eleazar memakai topi koran warna-warni. Topi itu pasti basah sekarang. Zaman sudah jauh berubah, tapi gaya mlonconya masih sama.” cowok itu tertawa kecil.
Kulit cokelat, hidung mancung, rambut ikal, bibir tipis, dan sebuah lesung pipi di pipi kiri. Topi merah yang dikenakannya sedikit basah. Gambaran rekan bicaranya tersimpan di dalam memori otak Camar. Cukup tampan.
Kalau aku disuruh pakai caping petani, tapi baru besok dipakainya. Harusnya hari ini gak telat kalau gak hujan,” Camar membela diri. Ia menampakkan raut wajah gelisah. Ia masih harus berjalan beberapa kilometer untuk mencapai sekolahnya. Sementara jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh. Terlambat. Beberapa anak sekolah berseragam SMP seperti dirinya terlihat memaksakan diri menerobos linangan air hujan. Bibirnya gemetar, tak kuat menahan udara dingin, sebab sebagian rok dan bajunya basah terkena air hujan.
Cowok di sebelahnya menampakkan raut wajah peduli. Seakan memahami kecemasan yang sedang menghinggapi gadis di sebelahnya itu, ia mengeluarkan kata-kata penghiburan.
“Jangan khawatir. Banyak yang terlambat juga, kok.”
“Apa aku terobos juga hujan itu ya?” Camar mulai berpikir nekat. Ia tak membawa baju ganti. Jika memaksakan diri menerobos hujan, pakaiannya akan basah kuyup.
“Tidak perlu. Sebentar lagi reda,” cowok itu memandang hujan. Camar melihat tetesan air hujan menjatuhi pucuk hidungnya yang mancung. (halaman 10-12)
Penggalan kisah di atas ada dalam novel “Aku, Juliet” karya saya yang diterbitkan oleh Penerbit Moka. Hujan memang mendatangkan inspirasi. Tak sedikit penulis yang menjadikan hujan sebagai tema di dalam novelnya. Walaupun tema novel saya itu  bukan tentang hujan, tetapi ada adegan berteduh dari hujan. Bagi saya, hujan itu romantis. Sebuah novel romantis, tak lengkap rasanya bila tak ada adegan “hujan-hujanan.”
Saya mau buka rahasia mengenai adegan di atas. Adegan itu bukan sekadar imajinasi, lho, melainkan memang pernah terjadi. Kisahnya tidak benar-benar sama, ehm… tapi romantismenya cukup mendekatilah ahahaha…. Saat itu kelas 2 SMA, saya turun dari angkot sepulang sekolah. Hujan turun amat deras, sehingga berteduhlah saya di depan sebuah rumah yang kosong. Saya melihat dirinya juga berdiri di depan rumah itu, menyunggingkan sedikit senyum, lalu kami berteduh berdua.
Dag, dig, dug… jiwa muda bergejolak. Saya memperhatikan tetesan hujan jatuh ke pucuk hidungnya yang mancung. Tak ada banyak kata yang kami ucapkan, karena saya memutuskan untuk segera naik ojek, sedangkan dia jalan kaki :D (kalau mau romantis, mestinya saya juga jalan kaki bersama dia ya, rumah kami hanya terpaut beberapa rumah).  Lagipula, dia memang seorang pendiam. Tak seperti adegan di atas, kami hanya bertukar sapa.
“Hai, La….”
“Eh, kamu….” (namanya saya rahasiakan saja, deh).
Namanya juga novelis. Bertahun kemudian, sepotong adegan saat berteduh dari hujan itu menjelma menjadi bagian di dalam novel, dengan banyak kata berhamburan dari kedua tokohnya: Camar dan Abby. Eh, terus.. terus… si dia itu gimana jadinya? Ngomong-ngomong, dia itu siapa sih?
Dia itu… ehm… rahasia deh, ah. Hanya satu dari laki-laki yang pernah memberikan inspirasi untuk dijadikan potongan adegan di dalam novel saya kok, hehehehe…. Barangkali pernah ada sepotong hati saya pernah singgah di hatinya, tetapi semua itu kini hanya menjadi kenangan dan bagian dalam novel saya. Seorang novelis dan hujan adalah pasangan serasi untuk merangkai kata-kata dan mengabadikannya ke dalam sebuah kisah penuh imajinasi. Setiap tetesan hujan yang turun ibarat tetesan ide yang datang dari langit. Sebab, hujan adalah wujud cinta Tuhan kepada kita. Dan sambil memandangi tetesannya, kisah cinta dapat terangkai sempurna melalui goresan pena kita.
Terima kasih hujan, yang telah melengkapi kisah di dalam novel saya itu melalui sepotong adegan di bawah hujan.

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar