“La, udah makan? Makan dulu atuh….”
Ibu mertuaku, tak pernah lupa mengingatkan anak-anaknya untuk makan, termasuk menantunya. Aku bersyukur diberikan ibu mertua yang baik hati, jauh dari perkiraanku semula. Ingatanku kembali ke bulan pertama pernikahan, ketika lelaki yang baru kunikahi, menceritakan sedikit demi sedikit perihal orangtuanya, terutama ibunya.
“Tadinya Ibu berharap punya menantu orang Garut juga,” ucapan suamiku membuat jantungku berdebar-debar.
“Jadi, aku bukan menantu yang diharapkan?”
“Itu supaya Ibu bisa nyambung ngobrolnya, karena Ibu kurang terbiasa bicara bahasa Indonesia.”
Soal bahasa, memang menjadi kendala komunikasi antara ibu mertua denganku. Beberapa kali ibu mertua kesulitan mencari arti bahasa Sunda yang diucapkannya ke dalam bahasa Indonesia agar aku mengerti.
“Tadinya Ibu nggak mau punya menantu orang Jawa. Kan ada mitosnya, orang Sunda nggak boleh nikah dengan orang Jawa. Pamali,” kata suamiku lagi.
Walaupun aku bukanlah menantu idaman, Ibu tetap bersikap baik kepadaku.
“Nanti lahirannya di Garut saja, biar ada Ibu yang menemani,” suamiku berkata di bulan ketujuh kehamilanku. Hamil anak pertama membuatku takut melahirkan tanpa didampingi seorang ibu. Ibu kandungku sudah meninggal. Allah memberikan ibu yang kedua, yaitu ibu mertua. Sejak mulai hamil, aku sering bertanya mengenai kehamilan kepada ibu mertua. Semua pantangan dan larangannya kupatuhi. Kujalani hubungan jarak jauh dengan suamiku, karena aku menunggu hari perkiraan lahir di rumah mertua. Ibu mertua telaten mengurusku layaknya anak sendiri. Beliau menemaniku membeli perlengkapan bayi dan periksa kandungan ke bidan.
Setelah melahirkan, beliau juga rutin memasakkan air mandi daun sirih dan makanan bergizi. Aku harus makan banyak, karena menyusui. Ibu mertuaku bersikap seperti ibu kandung.
Kini, sudah sembilan tahun beliau menjadi ibu keduaku. Ibu kandungku memang sudah meninggal, tetapi aku tak kehilangan kasih sayang seorang ibu. Beberapa minggu yang lalu, seorang kurir mengantarkan paket makanan untukku dari Ibu. Ada ayam pindang kecap buatan Ibu yang siap disantap. Sungguh, aku terharu dibuatnya.
Sebaliknya, Ibu pernah berkata, “kalau nggak punya uang, nggak usah kasih Ibu apa-apa. Pakai saja uangnya untuk keperluan kalian sendiri. Ibu sudah punya banyak tas, baju, sepatu,” sesak dadaku mendengar kalimat itu.
Beliau membutuhkan liburan, karena meskipun anak-anaknya sudah besar, pekerjaannya masih banyak. Liburan kemarin, kami mengajak Ibu berlibur ke Pamengpeuk, sebuah pantai di Garut Selatan, tiga jam perjalanan dari rumah mertua. Kami menginap di penginapan dekat pantai untuk dua malam.
Benar saja, di penginapan, Ibu tertidur lama sekali dari usai makan siang sampai menjelang Magrib. Punggungnya sakit karena kemarin sibuk mengurusi acara keluarga.
Bila surga yang pertama ada di telapak kaki ibu kandung, maka surga yang kedua ada di telapak kaki ibu mertua. Sebab, ibu mertua telah melahirkan dan merawat suamiku hingga menjadi seperti sekarang ini. Terima kasih, Ibu.
Hai Mas, ini blognya copy paste dari blog saya semua ya. Tolong dihapus ya blog ini atau saya laporkan ke google.
BalasHapus