|
Masa sih saya jelek? :D |
Demi memberikan inspirasi dan motivasi kepada pembaca , saya terpaksa mengingat-ingat lagi masa-masa kelam dalam hidup saya yang sudah lama saya kubur. Bagian mana dari hidup saya yang tragis, pernah membuat saya terpuruk, dan bisa diangkat ke dalam tulisan ini? Sampai beberapa minggu, saya masih belum menemukannya, karena rasanya hidup saya baik-baik saja. Kemudian saya teringat, oh ya, sewaktu kecil dulu, saya pernah ingin bunuh diri. Ya, Anda tidak salah baca. Usia saya masih belasan tahun ketika memiliki keinginan itu. Barangkali, jika saja saya jadi bunuh diri, kasus saya sama dengan anak SMP yang bunuh diri di dalam lemari pakaiannya itu.
Saya menganggap masa kecil saya sebagai bagian dari kehidupan yang kelam. Saya ingat di usia 3 atau 4 tahun, saya adalah seorang gadis kecil yang lucu. Setiap kumpul keluarga besar, semua meminta saya bernyanyi dan berceloteh karena saya cerewet dan pemberani. Saya juga masih ingat celetukan seorang bulek (tante) saya mengenai betapa lucu dan cerewetnya saya. Semua memberikan tepuk tangan ketika saya berdiri di atas meja dan bernyanyi. Sayangnya, keberanian dan rasa percaya diri saya musnah saat saya duduk di kelas 1 SD. Mama saya nekat memasukkan saya ke SD, daripada di rumah tidak ada yang menjaga karena beliau harus bekerja, padahal usia saya belum cukup. Saya tidak masuk TK dulu, karena kondisi ekonomi keluarga sangat pas-pasan. Pada zaman itu, masuk TK masih sebuah kemewahan. Hanya anak-anak orang kaya yang bisa masuk TK. Akibatnya, saya menjadi salah satu anak yang belum bisa membaca. Saya pun menjadi bulan-bulanan guru kelas 1 SD karena susah diajarkan membaca.
Guru kelas 1 SD itu sering menghujani paha saya dengan cubitan sampai biru. Mama saya bertanya, “kenapa pahanya biru?” saya jawab, “dicubit Bu Guru.” Mama geram, tapi saya tetap sekolah di sana dan ibu guru tak pernah jera mencubit. Saya mendapatkan rangking kedua dari belakang. Mama sudah bilang agar saya tidak perlu dinaikkan kelas, karena usia juga belum cukup, tapi saya tetap dinaikkan. Saya kembali menjadi anak paling bodoh di kelas dan mendapatkan bullyingdari guru dan teman-teman sekelas. Itulah yang kemudian membuat saya menjadi anak yang rendah diri, penakut, tidak menghargai diri sendiri, tidak percaya bahwa saya punya kelebihan, dan sempat terpikir untuk bunuh diri.
Semua orang menyebut saya, “bodoh, jelek, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Saya percaya bahwa diri saya memang seperti itulah. Saya dendam kepada semua orang. Saya marah kepada Tuhan. Dan saya terpikir untuk mengakhiri hidup. Untung saja, saya penakut. Saya sudah nyaris menggoreskan nadi dengan silet, sebagaimana yang saya lihat di televisi, tapi saya takut kesakitan. Saya berusaha menghadapi hidup, meskipun bullying terus berlangsung sampai saya lulus SD. Saya bahkan pernah disetrap di depan kelas dengan satu kaki diangkat ke atas, lalu teman-teman sekelas melempari saya dengan kertas dan benda-benda lain. Belum puas menghukum, Pak Guru juga menghujani saya dengan tamparan, pukulan, dan cubitan. Saat saya kuliah, saya mendengar Pak Guru itu sudah berpulang ke akhirat, dan saya bersyukur dia mati muda. Ternyata saya masih menyimpan dendam itu sampai bertahun-tahun kemudian.
Saya juga masih ingat ucapan seorang guru di SMA yang menyebut saya, “jelek.” Astaga, apakah benar saya jelek? Kepercayaan diri saya kembali terjun bebas, setelah sebelumnya saya yakin wajah saya cukup menarik dengan adanya beberapa cowok yang naksir. Ternyata masih ada yang menyebut saya “jelek.” Barangkali, saya memang jelek. Suatu ketika, Pak Guru di SMA itu mendapatkan kecelakaan. Saya ikut menengok beliau ke rumahnya bersama teman-teman sekelas. Anehnya, begitu bertemu saya, Pak Guru bilang, “eh, ternyata kamu cakep juga, ya….” Entah, apakah ucapannya itu karena beliau merasa punya salah kepada saya?
Percayalah. Ucapan-ucapan buruk kepada seseorang dapat menghancurkan kepercayaan diri orang itu, walaupun kita ucapkan kepada anak-anak. Jangan mengira anak-anak belum dapat menyerap ejekan dan hinaan itu. Mereka menyimpannya di dalam kepala dan membuatnya kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri. Lalu, bagaimana saya bisa mencintai dan berdamai dengan diri sendiri? Mensyukuri keberadaan diri saya? Semua bermula dari pertemuan saya dengan seorang rekan sekantor, di usia 23 tahun. Rekan kerja saya itu memiliki tinggi tubuh hanya 90 cm, yah seukuran anak kecil. Dia memiliki kelainan genetis. Bukan itu saja. Keluarganya juga tak ada yang normal. Kedua kakaknya divonis gangguan jiwa, akibat gangguan jin-jin yang disimpan bapaknya di dalam keris pusaka. Setelah bapaknya meninggal, keris-keris itu tak dimandikan sehingga jin-jin di dalamnya marah dan mengganggu kedua kakaknya. Hanya teman saya itu yang selamat, karena keimanannya sangat kuat. Dia rajin beribadah.
Kondisi saya masih lebih baik. Ukuran tubuh saya normal, bahkan walaupun ada yang pernah mengejek saya “jelek,” toh buktinya pernah ada cowok yang menyatakan cintanya kepada saya. Sedangkan teman saya itu, sampai usianya 35 pun, dia belum menikah. Saat itu usia saya 22 dan dia 35. Dan sampai kini pun (usianya 42 tahun), dia belum juga menikah. Keluarga saya juga normal, tidak ada yang terkena gangguan jiwa. Ayah saya memang galak, tapi tidak mengoleksi keris yang kemudian mengganggu anak-anak. Kehidupan saya masih jauh lebih baik daripada teman saya, tapi kenapa teman saya itu LEBIH PERCAYA DIRI daripada saya?
Ya, dia tak pernah memusingkan ukuran tubuhnya yang seperti anak-anak. Suaranya keras dan mantap bila berbicara. Dia percaya diri dan yakin ketika diminta menjadi pembicara maupun pendongeng (karena dia seorang sukarelawan di sebuah rumah baca). Dia-lah yang mengajari saya tentang berdamai dengan diri sendiri dan mencintai kehidupan yang dianugerahkan kepada kita.
Pertama, mensyukuri pemberian Allah kepada kita, apa pun itu. Sebab, tak ada pemberian-Nya yang buruk. Semuanya baik, bila kita mampu melihatnya dengan MATA CINTA. Di hadapan cinta, tak ada yang buruk. Semua akan terlihat sempurna dan baik. Coba saja bila kita sedang jatuh cinta kepada seseorang, kita akan melihat orang itu sangat sempurna. Tak ada cacatnya. Begitulah seharusnya kita memandang kehidupan. Anugerah dan musibah sama-sama disyukuri, karena keduanya menyimpan kebaikan.
Kedua, memaafkan kesalahan orang lain kepada kita, walaupun orang itu tidak meminta maaf. Memaafkan itu tidak mudah, walaupun kita sangat ingin memaafkan. Akan tetapi, kedamaian hati hanya bisa didapatkan dengan memaafkan. Sesungguhnya, memaafkan bukanlah untuk kebaikan orang yang menzalimi kita, tapi untuk kebaikan diri kita sendiri.
Ketiga, melupakan kesalahan orang lain. Rupanya saya tidak benar-benar bisa menerapkan hal ini, karena toh saya masih ingat kesalahan-kesalahan guru-guru di SD dulu. Barangkali karena kesalahan itu dilakukan sebelum saya mendapatkan pemahaman soal melupakan kesalahan. Akan tetapi, di masa sekarang ini, saya secara otomatis melupakan kesalahan orang lain dengan menyibukkan pikiran, memikirkan hal-hal yang baik-baik.
Keempat, mendata kebaikan-kebaikan yang telah kita terima di dalam hidup kita, sekecil apa pun itu, meyakini bahwa kebaikan yang kita terima lebih banyak daripada keburukan.\
Suami saya adalah salah seorang yang telah memberikan keyakinan bahwa saya juga patut dicintai, saya tidak buruk, dan kehadiran saya sangat dibutuhkan. Lamarannya meyakinkan saya bahwa ada seorang lelaki yang mencintai saya. Kehadiran anak-anak dalam rumah tangga kami, semakin membuat saya merasa berharga sebagai ibu yang dibutuhkan oleh mereka. Anak-anak adalah teman saya yang paling setia, karena mereka tak mau kehilangan saya. Mereka memiliki cinta yang paling tulus.
Pernah, seorang saudara saya berkata (setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu saya), “Nggak nyangka ya kamu bisa nikah juga. Padahal, dulu itu item, jelek. Mana suaminya cakep. Anaknya juga cakep.”
Alhamdulillah…. Allah Mahaadil. Allah tidak tidur. Di mata Allah, tidak ada ciptaan-Nya yang jelek. Semuanya bagus, karena Dia yang menciptakan. Kita saja (manusia) yang suka memandang rendah orang lain. Saya yakin, kebahagiaan yang saya dapatkan saat ini adalah berkah kehidupan di masa lampau yang berhasil saya lewati dengan keyakinan. Karena, (satu poin lagi),
Kelima, yakinlah bahwa Allah senantiasa ada di sisi kita dan menolong kita melewati setiap masa sulit.
Tak ada itik yang buruk rupa. Jika kamu melihat ada itik yang buruk rupa, barangkali kamu harus pakai kacamata atau kacamatamu harus diganti.