Sabtu, 31 Januari 2015

Rejeki pada Ayat Pertama Surat Al Ikhlash

Kemarin ketika menjemput anak kedua pulang dari sekolah, saya sempat mendengarkan cerita ibu-ibu yang juga sedang menunggui anaknya. Katanya, suaminya melarang jalan-jalan jauh naik motor ke arah Depok dan sekitarnya (kami tinggal di Citayam, pinggiran Depok, Jawa Barat). Biasanya, ibu itu memang sering jalan-jalan naik motor sekadar makan bakso atau belanja kecil-kecilan. Dikira si ibu, suaminya melarang karena khawatir uang belanja jebol, ternyata... "Di Depok sedang ada banyak begal. Nggak malam, nggak siang." 


Semalam, saya baru mendengar cerita komplitnya dari suami. Memang benar, di Depok sedang ada banyak begal atau perampok. Mereka menghadang di jalanan dan nggak segan-segan melukai serta membunuh orang. Sudah ada dua pengendara motor yang meninggal dibegal di Jalan Juanda dan Margonda. Sedangkan yang terluka tak terhitung jumlahnya. Malah ada pengendara motor yang pulang ke rumah dengan clurit di punggungnya karena dia diclurit tapi masih bisa menyelamatkan diri. Mengerikan sekali! 

Apakah zaman semakin susah sehingga perampok makin brutal? Atau  penegak keamanan (Polisi dan lain-lain) sudah tak peduli? Tak mau mengamankan jalanan? Pejabat-pejabat nyenyak tidur? Memang, sejak kenaikan BBM (yang kemudian diturunkan lagi), harga-harga barang melonjak. BBM turun, tapi harga barang masih naik. Tapi, apa begitu caranya mencari nafkah sampai menghilangkan nyawa orang lain?? Yang dihilangkan nyawanya itu juga para pencari nafkah: bapak-bapak yang sedang mencari uang untuk keluarganya. Padahal, kalau kita taat dan beriman kepada Allah Swt, insya Allah rejeki dicukupkan. 

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membaca Qul-huw-Allahu-ahad setiap akan memasuki rumah, Allah akan menjauhkannya dari kemiskinan." (HR. Thabrani) 

Ayat pertama surat Al Ikhlash menyimpan keajaiban bagi siapa saja yang percaya dan yakin. Tentu saja, saat mengucapkannya kita harus yakin bahwa Allah akan memberikan rejeki yang berkah dan cukup kepada kita dan keluarga kita, diiringi dengan mencari nafkah yang halal. 

Si bibi juga cerita kepada saya, ada seorang pencuri mesin air di kampungnya yang meninggal ketika sedang mencuri. Rupanya mesin air itu dialiri listrik oleh pemiliknya, sehingga siapa yang menyentuhnya akan tersetrum. Naudzulillahimindzalik... Meninggal saat sedang melakukan perbuatan jahat? Semoga kita dijauhkan dari tindakan mencari rejeki yang tidak halal. Aamiin...

Jumat, 30 Januari 2015

Tak Ada Itik yang Buruk Rupa

Masa sih saya jelek? :D

Demi  memberikan inspirasi dan motivasi kepada pembaca , saya terpaksa mengingat-ingat lagi masa-masa kelam dalam hidup saya yang sudah lama saya kubur. Bagian mana dari hidup saya yang tragis, pernah membuat saya  terpuruk, dan bisa diangkat ke dalam tulisan ini? Sampai beberapa minggu, saya masih belum menemukannya, karena rasanya hidup saya baik-baik saja. Kemudian saya teringat, oh ya, sewaktu kecil dulu, saya  pernah ingin bunuh diri. Ya, Anda tidak salah baca. Usia saya masih belasan tahun ketika memiliki keinginan itu. Barangkali, jika saja saya jadi bunuh diri, kasus saya sama dengan anak SMP yang bunuh diri di dalam lemari pakaiannya itu.


Saya menganggap masa kecil saya sebagai bagian dari kehidupan yang kelam. Saya ingat di usia 3 atau 4 tahun, saya adalah seorang gadis kecil yang lucu. Setiap kumpul keluarga besar, semua meminta saya bernyanyi dan berceloteh karena saya cerewet dan pemberani. Saya juga masih ingat celetukan seorang bulek (tante) saya mengenai betapa lucu dan cerewetnya saya. Semua memberikan tepuk tangan ketika saya berdiri di atas meja dan bernyanyi. Sayangnya, keberanian dan rasa percaya diri saya musnah saat saya duduk di kelas 1 SD. Mama saya nekat memasukkan saya ke SD, daripada di rumah tidak ada yang menjaga karena beliau harus bekerja, padahal usia saya belum cukup. Saya tidak masuk TK dulu, karena kondisi ekonomi keluarga sangat pas-pasan. Pada zaman itu, masuk TK masih sebuah kemewahan. Hanya anak-anak orang kaya yang bisa masuk TK. Akibatnya, saya menjadi salah satu anak yang belum bisa membaca. Saya pun menjadi bulan-bulanan guru kelas 1 SD karena susah diajarkan membaca.

Guru kelas 1 SD itu sering menghujani paha saya dengan cubitan sampai biru. Mama saya bertanya, “kenapa pahanya biru?” saya jawab, “dicubit Bu Guru.” Mama geram, tapi saya tetap sekolah di sana dan ibu guru tak pernah jera mencubit. Saya mendapatkan rangking kedua dari belakang. Mama sudah bilang agar saya tidak perlu dinaikkan kelas, karena usia juga belum cukup, tapi saya tetap dinaikkan. Saya kembali menjadi anak paling bodoh di kelas dan mendapatkan bullyingdari guru dan teman-teman sekelas. Itulah  yang kemudian membuat saya menjadi anak yang rendah diri, penakut, tidak menghargai diri sendiri, tidak percaya bahwa saya punya kelebihan, dan sempat  terpikir untuk bunuh diri.

Semua orang menyebut saya, “bodoh, jelek, dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Saya percaya bahwa diri saya memang seperti itulah. Saya dendam kepada semua orang. Saya marah kepada Tuhan. Dan saya terpikir untuk mengakhiri hidup. Untung saja, saya penakut. Saya sudah nyaris menggoreskan nadi dengan silet, sebagaimana yang saya lihat di televisi, tapi saya takut kesakitan. Saya berusaha menghadapi hidup, meskipun bullying terus berlangsung sampai saya lulus SD. Saya bahkan pernah disetrap di depan kelas dengan satu kaki diangkat ke atas, lalu teman-teman sekelas melempari saya dengan kertas dan benda-benda lain. Belum puas menghukum, Pak Guru juga menghujani saya dengan tamparan, pukulan, dan cubitan. Saat saya kuliah, saya mendengar Pak Guru itu sudah berpulang ke akhirat, dan saya bersyukur dia mati muda. Ternyata saya masih menyimpan dendam itu sampai  bertahun-tahun kemudian.

Saya juga masih ingat ucapan seorang guru di SMA yang menyebut saya, “jelek.” Astaga, apakah benar saya jelek? Kepercayaan diri saya kembali terjun bebas, setelah sebelumnya saya yakin wajah saya cukup menarik dengan adanya beberapa cowok yang naksir. Ternyata masih ada yang menyebut saya “jelek.” Barangkali, saya memang jelek. Suatu ketika, Pak Guru di SMA itu mendapatkan kecelakaan. Saya ikut menengok beliau ke rumahnya bersama teman-teman sekelas. Anehnya, begitu bertemu saya, Pak Guru bilang, “eh, ternyata kamu cakep juga, ya….” Entah, apakah ucapannya itu karena beliau merasa punya salah kepada saya?

Percayalah. Ucapan-ucapan buruk kepada seseorang dapat menghancurkan kepercayaan diri orang itu, walaupun kita ucapkan kepada anak-anak. Jangan mengira anak-anak belum dapat menyerap ejekan dan hinaan itu. Mereka menyimpannya di dalam kepala dan membuatnya kehilangan penghargaan terhadap diri sendiri. Lalu, bagaimana saya bisa mencintai dan berdamai dengan diri sendiri? Mensyukuri keberadaan diri saya? Semua bermula dari pertemuan saya dengan seorang rekan sekantor, di usia 23 tahun. Rekan kerja saya itu memiliki tinggi tubuh hanya 90 cm, yah seukuran anak kecil. Dia memiliki kelainan genetis. Bukan itu saja. Keluarganya juga tak ada yang normal. Kedua kakaknya divonis gangguan jiwa, akibat gangguan jin-jin yang disimpan bapaknya di dalam keris pusaka. Setelah bapaknya meninggal, keris-keris itu tak dimandikan sehingga jin-jin di dalamnya marah dan mengganggu kedua kakaknya. Hanya teman saya itu yang selamat, karena keimanannya sangat kuat. Dia rajin beribadah.

Kondisi saya masih lebih baik. Ukuran tubuh saya normal, bahkan walaupun ada yang pernah mengejek saya “jelek,” toh buktinya pernah ada cowok yang menyatakan cintanya kepada saya. Sedangkan teman saya itu, sampai usianya 35 pun, dia belum menikah. Saat itu usia saya 22 dan dia 35. Dan sampai kini pun (usianya 42 tahun), dia belum juga menikah. Keluarga saya juga normal, tidak ada yang terkena gangguan jiwa. Ayah saya memang galak, tapi tidak mengoleksi keris yang kemudian mengganggu anak-anak. Kehidupan saya masih jauh lebih baik daripada teman saya, tapi kenapa teman saya itu LEBIH PERCAYA DIRI daripada saya?

Ya, dia tak pernah memusingkan ukuran tubuhnya yang seperti anak-anak. Suaranya keras dan mantap bila berbicara. Dia percaya diri dan yakin ketika diminta menjadi pembicara maupun pendongeng (karena dia seorang sukarelawan di sebuah rumah baca). Dia-lah yang mengajari saya tentang berdamai dengan diri sendiri dan mencintai kehidupan yang dianugerahkan kepada kita.

Pertama, mensyukuri pemberian Allah kepada kita, apa pun itu. Sebab, tak ada pemberian-Nya yang buruk. Semuanya baik, bila kita mampu melihatnya dengan MATA CINTA. Di hadapan cinta, tak ada yang buruk. Semua akan terlihat sempurna dan baik. Coba saja bila kita sedang jatuh cinta kepada seseorang, kita akan melihat orang itu sangat sempurna. Tak ada cacatnya. Begitulah seharusnya kita memandang kehidupan. Anugerah dan musibah sama-sama disyukuri, karena keduanya menyimpan kebaikan.

Kedua, memaafkan kesalahan orang lain kepada kita, walaupun orang itu tidak meminta maaf. Memaafkan itu tidak mudah, walaupun kita sangat ingin memaafkan. Akan tetapi, kedamaian hati hanya bisa didapatkan dengan memaafkan. Sesungguhnya, memaafkan bukanlah untuk kebaikan orang yang menzalimi kita, tapi untuk kebaikan diri kita sendiri. 

Ketiga, melupakan kesalahan orang lain. Rupanya saya tidak benar-benar bisa menerapkan hal ini, karena toh saya masih ingat kesalahan-kesalahan guru-guru di SD dulu. Barangkali karena kesalahan itu dilakukan sebelum saya mendapatkan pemahaman soal melupakan kesalahan. Akan tetapi, di masa sekarang ini, saya secara otomatis melupakan kesalahan orang lain dengan menyibukkan pikiran, memikirkan hal-hal yang baik-baik.

Keempat, mendata kebaikan-kebaikan yang telah kita terima di dalam hidup kita, sekecil apa pun itu, meyakini bahwa kebaikan yang kita terima lebih banyak daripada keburukan.\

Suami saya adalah salah seorang yang telah memberikan keyakinan bahwa saya juga patut dicintai, saya tidak buruk, dan kehadiran saya sangat dibutuhkan. Lamarannya meyakinkan saya bahwa ada seorang lelaki yang mencintai saya. Kehadiran anak-anak dalam rumah tangga kami, semakin membuat saya merasa berharga sebagai ibu yang dibutuhkan oleh mereka. Anak-anak adalah teman saya yang paling setia, karena mereka tak mau kehilangan saya. Mereka memiliki cinta yang paling tulus.

Pernah, seorang saudara saya berkata (setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu saya), “Nggak nyangka ya kamu bisa nikah juga. Padahal, dulu itu item, jelek. Mana suaminya cakep. Anaknya juga cakep.”

Alhamdulillah…. Allah Mahaadil. Allah tidak tidur. Di mata Allah, tidak ada ciptaan-Nya yang jelek. Semuanya bagus, karena Dia yang menciptakan. Kita saja (manusia) yang suka memandang rendah orang lain. Saya yakin, kebahagiaan yang saya dapatkan saat ini adalah berkah kehidupan di masa lampau yang berhasil saya lewati dengan keyakinan. Karena, (satu poin lagi),

Kelima, yakinlah bahwa Allah senantiasa ada di sisi kita dan menolong kita melewati setiap masa sulit.

 Tak ada itik yang buruk rupa. Jika kamu melihat ada itik yang buruk rupa, barangkali kamu harus pakai kacamata atau kacamatamu harus diganti. 



Kamis, 22 Januari 2015

Kado Terindah untuk Seseorang yang Menyebut Saya"Pelit"

Sepatu yang ungu untuk adik saya :-)
Jadi anak pertama itu ada enak, ada nggak enaknya. Enaknya, selalu dapat barang-barang yang baru: baju, buku, sepeda, meja belajar, dan sebagainya. Kata orang, "Masa anak pertama dikasih barang bekas?" Otomatis, orangtua pun berusaha memberikan barang baru untuk putra/ putri pertamanya, walaupun nggak selalu begitu. Nggak heran, adik-adik saya kerap melontarkan kata-kata yang bernada iri, terutama ketika ibu kami masih hidup, "Ah, Mbak mah enak, mau apa-apa, pasti dibeliin Mamah. Kalau kita cuman dapat bekasnya." Hihihi..... 


Nggak enaknya? Ya, gantian deh anak pertama harus "ngasih" ke adik-adiknya, apalagi kan kebanyakan anak pertama itu lebih dulu mentas dan sukses (walaupun ada beberapa kasus yang kebalikannya). Lebih dulu lulus, lebih dulu nikah, lebih dulu lahiran anak, lebih dulu ngawinin anak, dan sebagainya. Nah, pas anak pertama nikah, adik-adiknya masih sekolah. Ya, masa adik-adiknya ngasih kado? Begitu juga pas anak pertama melahirkan, adik-adiknya belum juga kerja. Masa mau kasih kado? Nasib... nasib.... Tapi, nggak begitu kalau adik-adiknya yang menikah dan melahirkan. Anak pertama  pasti akan kasih kado untuk para keponakannya itu, hahahaha.... 

Udahlah selalu ngasih ke adik-adik, gimana nggak pahit coba ya pas dengar salah satu adiknya nyeplos, "Ah, Mbak mah pelit." Maksudnya, disebut pelit itu bukan karena nggak ngasih, tapi nggak sering ngasih! Catat: SERING. Jadi, sebagai kakak, harus diingat nih agar sering-sering ngasih ke adik-adiknya. Cakep deh kalau adiknya ada sembilan, dijamin rambutnya cepat ubanan kayak ayah saya, haghaghag.... Serius ini mah, nggak bohong. Ayah saya anak pertama dari 10 bersaudara, dan saya anak pertama dari 4 bersaudara. Ayah saya pernah menjadi tulang punggung untuk adik-adiknya. Syukurlah, karena adik saya perempuan semua dan sudah menikah, jadi sudah ditanggung oleh suami masing-masing. Tinggal si bungsu aja yang masih sekolah dan masih sering "minta-minta." Termasuk, dia itu yang nyebut saya "pelit," bwahahahaha.... 

Saya dan si bontot
Dalam rangka menghapus imej pelit itulah, pas kemarin saya pesan sepatu, saya inget adik saya dong. Saya pesankan dua sepatu. Berhubung sepatunya itu handmade, dibuat berdasarkan pesanan, adik saya bisa memilih model yang diinginkan. Ukurannya juga ngukur sendiri. Ternyata dia percaya dengan model yang saya pilihkan. Ya sudah, saya pilihkan model yang kira-kira dia suka, karena dia suka warna ungu. Nggak berapa  lama, pesanan sepatu pun datang. Wuiih, cepet banget dari sejak saya order sampai ke rumah hanya butuh waktu seminggu. Oh, pantes pakai jasa pengiriman yang sudah terpercaya itu lho. Saya foto dan kirim fotonya via BBM. Sepatunya nanti menyusul kalau saya sudah ke rumah orangtua, karena adik saya masih tinggal dengan orangtua kami. 

Sejujurnya, saya was-was bagaimana tanggapan si bontot yang fashionable itu. Dia lumayan melek fashion dan sangat pemilih. Kalau dia nggak suka dengan sepatu, baju, aksesoris apa pun yang diberikan ke dia, dia pasti nggak bakal mau pakai. Dibiarkan teronggok di lemari sampai ada yang mengadopsi. Dan, begitu saya kirim BBM, dia cepat membalas, "Mauuuuuu...!" Semangat banget ya, sampe berentet gitu huruf "U" nya. Minggu lalu, saya sudah ke rumah orangtua dan memberikan sepatu itu kepada adik saya. Dia terlihat antusias, langsung dicoba, "Ini buat Echa? Makasih ya, Mbak Elaaaa...." katanya, kesenangan. 

Alhamdulillah, saya pun mesem-mesem, sambil berharap semoga dia nggak lagi-lagi nyebut saya "pelit," huhuhu..... Sepanjang ingatan saya, itulah kado terindah yang pernah saya berikan kepada seseorang yang menyebut saya "pelit." Walaupun tentu saja saya sering memberikannya kado, hehehehe.... 






Senin, 05 Januari 2015

#1Day1Dream: Traveling ke Macau

Melanjutkan sehari satu mimpi, hari ini mimpi saya bertambah lagi, yaitu ingin traveling ke Macau! Ini gara-gara beberapa waktu lalu ada lomba blog "Why, Macau" dan salah satu pemenangnya adalah Una alias Sitti Rasuna yang menuliskan pengalamannya selama berada di Macau. Membaca cerita Una bikin saya pingin ke Macau. Dari situ pula, saya jadi punya ide menulis novel yang settingnya di Macau. 


Dulu banget, saya pernah punya ide cerita novel yang settingnya di Cina. Novelnya belum ditulis sama sekali, tapi idenya masih terngiang-ngiang. Kenapa Cina? Itu gara-gara tren film Mandarin yang membersamai saya melewati masa remaja, ahahaha.... Nah, sekarang saya mau coba menggarap ide novel itu, tapi di mana ya settingnya? Kalau di Beijing, sudah ada beberapa penulis yang menggarapnya, sebut saja: Ninit Yunita dalam "Kukejar Cinta Sampai ke Negeri Cina," Asma Nadia dalam "Assalamualaikum, Beijing," dan Riawani Elyta dalam "First Time in Beijing." Jadi, kalau settingnya Beijing, terlalu mainstream.

Setelah ada pengumuman lomba blog "Why, Macau" itu, saya jadi punya ide. Aha! Di Macau aja deh settingnya! Kayaknya belum ada novel karya penulis Indonesia yang setting di Macau. Apalagi saya punya referensi pengalaman beberapa blogger yang sudah ke sana, salah satunya ya si Una. Kalau butuh pendalaman, tinggal inbox aja si Una hihihi... Tapi jangan berharap saya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu cepat yah, karena lagi malas-malasan nulis novel. 

Supaya lebih menjiwai lagi, memang ada baiknya sih saya pergi juga ke Macau. Bagaimana caranya? Entahlah. Barangkali dengan ikut lomba blog berhadiah traveling ke Macau, seperti Una. Itu kalau ada. Kalau nggak ada? Ya, masih berdoa saja semoga kesampaian. Siapa tahu ada penyedia paket perjalanan yang mau ngajak saya jalan-jalan gratis ke Macau #jiyaaah.... 

Menulis novel dengan setting di luar negeri bukan pertama kalinya buat saya. Yang pertama itu novel Brisbane, sudah diterbitkan oleh DAR! Mizan. Saya belum pernah ke Brisbane (berharap banget ada yang ngajakin), tapi untuk mendukung cerita, saya mewawancarai teman-teman yang pernah tinggal ke sana. Kenapa settingnya harus di luar negeri? Nggak harus juga sih, karena belasan novel saya yang lain itu justru settingnya di dalam negeri. Kenapa di luar negeri? Ya, bagi saya sendiri, bisa menambah wawasan dan pengetahuan tentang negara-negara lain, karena saya jadi banyak bertanya ke narasumber atau internet. Bagi pembaca pun, mereka mendapatkan informasi tentang negara lain setelah membaca novel saya. Nggak ada salahnya kan kita memiliki referensi pengetahuan tentang kekayaan alam, budaya, dan adat istiadat negara lain? 

Entah kenapa setelah novel Brisbane terbit, beberapa teman di facebook seolah menyindir-nyindir di status mereka tentang novel bersetting luar negeri. Intinya, kenapa sih penulis Indonesia nggak nulis novel yang setting dalam negeri aja? Hal-hal seperti itu, kadang membuat saya sensi dan jadi ingin nutup facebook hehehehe.... Aneh sekali, karena yang nyetatus itu justru lebih banyak membaca novel-novel luar negeri. Giliran saya yang nulis, kenapa disindir gitu? Eh, memangnya dia nyindir saya? Nggak tahu sih, ini mah saya aja yang sensi. Ya udahlah, tahun baru jangan dibuka dengan sensi-sensian :P 

Why, Macau? Dari cerita teman-teman blogger yang sudah ke sana, Macau itu memiliki budaya dan tradisi perpaduan Asia-Eropa, karena pernah dijajah Portugis. Sebagian besar bangunannya berbentuk bangunan Eropa yang indah dan eksotis. Bahasa yang digunakannya juga antara Cina dan Spanyol. Penduduknya jelas berdarah Tionghoa. Terus, ada makanan yang namanya Egg Tart. Hmm... melihat fotonya bikin liur saya ngeces. Enak banget kelihatannya. Sementara ini cuman bisa ngiri sama Una. Mudah-mudahan saya bisa traveling ke sana juga. Aamiin....


Tersedia di toko buku. Harga Rp 49 Ribu
















Minggu, 04 Januari 2015

#1Day1Dream: Novel Difilmkan

Assalamualaikum, holaaa.... akhirnya bisa buka laptop lagi setelah mengalahkan rasa malas karena masih aura liburan. Anak-anak dan suami nyantai di rumah, masa mamanya kerja? Hehehe.... Ceritanya mau ikutan posting 1 Day 1 Dream yang diadakan oleh komunitas blogger Kancut, tapi berhubung saya tidak bergabung dengan komunitas itu, jadi saya ikut-ikutan saja nih tanpa dimaksudkan  untuk ikut berebut hadiahnya. 


Seru juga ngomongin mimpi, apalagi kalau satu hari satu mimpi. Belakangan ini, marak film-film Indonesia yang diangkat dari novel, sebut saja "Kukejar Kau Sampai ke Negeri Cina" yang diangkat dari novel Ninit Yunita, "Strawberry Surprise" dari novel Dessi P, "Merry Riana the Movie" dari buku Sejuta Dollar-nya Merry Riana, dan yang ramai banget di timeline, "Assalamu'alaikum, Beijing" dari novel Asma Nadia. Keren banget ya mereka itu. Saya juga punya mimpi memfilmkan novel-novel saya. Walaupun tidak semuanya, setidaknya ada di antara novel saya yang difilmkan. 

Malah, sebenarnya dulu itu saya ingin bikin film, bukan menulis novel. Berhubung menjadi sineas lebih berliku-liku jalannya, saya pun memilih menjadi novelis. Mimpi untuk memfilmkan novel masih belum kabur. Insya Allah, bila Allah meridai, pasti ada jalan. Hm, di antara semua novel yang sudah diterbitkan, yang paling ingin difilmkan adalah Dag, Dig, Dugderan. Kenapa? Menurut saya sendiri sih, novel yang baru saja diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama itu memiliki ide cerita yang berbeda dibandingkan novel remaja lainnya. Kisahnya bukan seputar cinta-cintaan, berlatarbelakang budaya Semarang yang kental, karakter tokoh-tokohnya yang kuat, dan memotivasi para remaja. 

Seandainya difilmkan, kira-kira sutradara yang cocok itu Garin Nugroho atau Hanung Bramantyo, tsaaaah... Namanya juga bermimpi, boleh dong ya... Kenapa harus mereka? Karena mereka sering membuat film dengan muatan inspirasi dan lokalitas yang kental. Sutradara-sutradara muda lainnya, saya kurang begitu kenal. *siapa tahu postingan blog ini dibaca oleh mereka atau orang-orang yang kenal mereka, xixixixi.... 

Novel Dag, Dig, Dugderan bersetting di Semarang, dengan mengangkat festival Dugderan yang diadakan setiap menjelang Ramadhan di Semarang sebagai simbol kerukunan tiga etnis besar di sana: Jawa, Arab, dan Tionghoa. Ketiga etnis tersebut terwakili oleh tiga tokoh utama di dalam novel ini: Sri, Farah, dan Eileen, tiga remaja SMA yang bertarung dalam Olimpiade Sains Nasional. Sementara banyak remaja di negeri ini disibukkan oleh cinta, ketiga tokoh dalam novel Dag, Dig, Dugderan lebih fokus pada cita-cita. 

Saya berharap banyak remaja yang membaca novel ini, dan semoga menginspirasi. Jika difilmkan, tentu pesan-pesannya juga akan lebih banyak menjangkau penonton atau orang-orang yang malas membaca bukunya. Aamiiin..... Ini mimpi pertama saya di tahun 2015. Mimpi selanjutnya, tunggu postingan berikutnya yaa :D 

Tersedia di toko buku. Rp 43.000




Sabtu, 03 Januari 2015

Hello, 2015!

Masih dalam suasana libur tahun baru, eh tapi saya tidak merayakan tahun baru lho. Malam tahun baru, saya di rumah saja bersama keluarga. Tidak memasang petasan, kembang api, membakar jagung atau ayam, dan lain-lain. Biasa saja seperti malam-malam lainnya. Berhubung tahun baru itu libur, dan anak-anak juga masih dalam liburan sekolah, nuansa tahun barunya mau tidak mau tetap terasa. Jadi, jangan dibilang kalau saya memakai standar ganda lho... Di satu sisi tidak merayakan tahun baru, di sisi lain ikut merasakan liburnya. Saya sendiri, liburan setiap hari hehehe.... Bagi saya, merayakan tahun baru di saat banyak musibah terjadi di penghujung tahun itu sangat tidak sensitif. Saya justru lebih memperhatikan musibah jatuhnya pesawat Air Asia yang mengenaskan. 


Mengikuti penanggalan masehi, hari ini sudah 3 Januari 2015, baru beranjak tiga hari dari tahun baru Masehi. Kilas balik ke tahun 2014, alhamdulillah saya masih bisa tetap menulis dan ngeblog walau semangat kadang pasang surut. Ada masa di mana saya sangat bersemangat, ada masa di mana saya turun semangat. Contohnya di permulaan tahun baru, saya malah turun semangat. Barangkali saya memang butuh liburan setelah sebulan kemarin aktif ngeblog, meski sedang dalam perjalanan liburan ke Bandung dan Garut. Malam ini, saya coba untuk ngeblog lagi dalam rangka curcol. 

Akhir tahun 2013, saya masih belum ada bayangan akan menerbitkan berapa buku. Saya punya target menerbitkan minimal 3 buku per tahun. Saat itu, ada tiga naskah novel yang menganggur. Naskah Dag, Dig, Dugderan sudah saya layangkan ke Gramedia Pustaka Utama, tapi belum ada jawaban. Naskah Aku, Juliet dan Brisbane masih terkatung-katung. Sampai kemudian, Mbak Eni Martini, seorang kawan penulis, menganjurkan agar saya mengirim naskah ke Penerbit Moka yang sedang mencari naskah roman remaja. Sayangnya, saat ini Moka sudah tidak menerima naskah roman, tapi membuka kesempatan untuk naskah horor/ thriller/ komedi. Alhamdulillah, naskah Aku, Juliet diacc dan diterbitkan oleh Moka, bulan kelima tahun 2014.

Tak lama setelah Aku, Juliet diacc oleh Penerbit Moka, naskah Dag, Dig, Dugderan pun mendapatkan jawaban dari GPU, dan yeesss... akan diterbitkan pula! Senangnya bukan main. Cita-cita saya untuk menerbitkan novel di GPU pun tercapai. Proses terbitnya juga cepat. Menyusul kemudian naskah Brisbane diacc oleh DAR! Mizan dan menjadi novel penutup yang terbit di tahun 2014. Puji syukur kepada Allah Swt, ternyata resolusi saya menerbitkan tiga novel solo dalam setahun bisa tercapai. Saya juga berhasil menerbitkan naskah antologi titipan teman-teman penulis yang tinggal di luar negeri, berjudul "Serunya Puasa Ramadhan di Luar Negeri."

Banyak teman penulis yang menerbitkan lebih dari tiga buku dalam setahun. Saya bukan tipe penulis yang ngoyo, setiap hari harus menulis agar semakin banyak buku yang diterbitkan. Sampai hari ini, waktu menulis masih harus dibagi dengan waktu menjadi ibu dan istri. Saya tidak ingin melalaikan pekerjaan sebagai ibu dan istri gara-gara menulis. 

Bagaimana dengan tahun 2015? Masih belum ada gambaran akan menerbitkan buku apa, karena naskah-naskah yang saya layangkan ke penerbit belum mendapatkan jawaban. Semoga saja resolusi saya minimal menerbitkan 3 buku setahun, dapat tercapai lagi. Sementara itu, dunia blogging masih menarik minat saya pula. Tahun lalu, saya mengikuti empat lomba blog maraton. Yang pertama tentang Tuberkulosis, tidak saya selesaikan karena minim ilmu. Lalu, lomba blog tentang pengalaman menjadi ibu, semangat ngeblog di blogdetik, dan Indiva Readers Challenge (khusus review buku). Baru satu yang menasbihkan saya sebagai pemenang, yaitu lomba ngeblog MomStory. 

Pengalaman kalah menang mengikuti lomba blog membuat saya semakin selektif dalam mengikuti lomba blog. Beberapa lomba blog yang saya tidak ikuti, diantaranya:
  1. Tidak menguasai tema. Selain susah nulisnya, kalau dipaksa pun tidak akan menang.
  2. Tidak menggunakan produknya. Bisa saja saya beli produknya, tapi kalau memang tidak memakai produk itu sejak awal, untuk apa pula ikutan? 
  3. Pesertanya membludak. Dalam lomba blog, tujuan utama adalah mendapatkan hadiah. Jadi, kalau yang memperebutkannya itu banyak sekali, mundur saja deh hehehe.... 
  4. Persyaratannya terlalu ribet, tapi hadiahnya sedikit. Dulu, hadiah kecil pun saya uber. Alasannya karena saya ingin mengasah kemampuan menulis dan menambah banyak teman. Tapi sekarang ada prioritas, tak perlu semua diikuti. 
  5. Lomba SEO, biarpun hadiahnya besar, saya tahu itu bukan kapasitas saya.
  6. Lomba yang hadiahnya berlibur atau pelesiran. Belum saatnya bagi saya untuk jalan-jalan berwisata ke mana-mana, sementara di rumah ada anak-anak yang butuh perhatian. Bayangkan kalau saya dapat hadiah liburan ke London selama seminggu, siapa yang akan mengurus anak-anak saya? 
  7. Lomba yang hadiahnya rebutan, seperti di lomba Semangat Ngeblog Blogdetik yang baru berakhir. Saya kapok ikut lagi. Saya sadar, kuota internet ini minimal sekali, jadi lelet. Begitu memasukkan formulir pengajuan hadiah, eh hadiahnya selalu kehabisan. Ngeblognya sih asyik, tapi rebutan hadiahnya itu bisa memakan waktu dua harian, dan hasilnya nihil. Buang-buang waktu saja. 
  8. Lomba yang penyelenggaranya tidak pernah memenangkan saya, meskipun saya sudah berkali-kali mengikuti lomba yang mereka adakan. Sebut saja, sebuah perusahaan provider ternama yang sudah berkali-kali mengadakan lomba blog. Saya sudah 4 kali ikut lomba blog yang mereka adakan dan tidak pernah menang! Astaga! Sejak itu saya bertekad tidak akan mengikuti lomba mereka lagi. 
Semoga tahun ini saya bisa konsisten menulis! Hello, 2015, let's start!