Kamis, 18 Desember 2014

Menengok Kembali Tulisan yang Membuat Semangat Ngeblog


Sebulan yang lalu, saya dilanda rasa malas ngeblog yang luar biasa. Ada banyak alasan, antara tidak ada ide nulis, tidak punya waktu, sampai kesal karena tidak menang lomba blog lagi, hehehe…. Tapi, bagaimana nasib empat blog yang sudah saya biakkan selama ini? Sayang juga kalau tidak diteruskan hobi menyenangkan yang satu ini. Akhirnya, dengan tertatih, saya kembali ngeblog. Ladalah, di blogdetik sedang diadakan lomba ngeblog marathon dengan tagline #SemangatNgeblog, lalu ada pula lomba menulis tentang suka duka menjadi ibu, di mana kontributor teraktif (yang paling banyak menulis di blog) berkesempatan menjadi pemenang.


Bukan kebetulan kalau Om Nher mengadakan gift awal berjudul “Self Reflection” alias lomba tengak-tengok blog sendiri. Idenya unik juga. Saya pun mengubek-ubek postingan di blog ini selama tahun 2014 dan ketemulah tulisan berjudul, “Momen-momen Spesial dari Ngeblog.” Membaca kembali tulisan tersebut, menyadarkan saya akan banyaknya rezeki dan berkah yang saya dapatkan dari ngeblog. Ah, mengapa saya lupa bahwa blog ini dan tiga blog lainnya telah memberikan momen-momen spesial untuk saya? Tiga momen terbesar, bahkan terjadi di pertengahan tahun 2014, artinya belum lama berlangsung, yaitu: juara pertama lomba blog Positive Parenting dari Tabloid Nakita (bahkan saya diwawancarai oleh Tabloid Nakita), pemenang PSF Blogger Awards, dan juara pertama lomba blog antirokok (mendapatkan penghargaan langsung dari Menteri Kesehatan waktu itu, Ibu Nafsiah Mboi).

Bisa ketemu Bu Menkes karena ngeblog
Masya Allah! Bagaimana saya bisa melupakan momen-momen spesial itu begitu saja? Untunglah, Om Nher mengadakan Gift Away ini, sehingga saya bisa membaca kembali postingan di atas dan tersadarkan bahwa blog-blog yang telah saya asuh selama ini sangat berjasa dalam mengembangkan kemampuan menulis. Memang, kemampuan menulis saya masih harus terus diasah, diasuh, dan diasih, agar tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan juga orang lain. Ternyata, tulisan tersebut sangat berarti buat saya, terutama untuk mengembalikan semangat ngeblog yang luntur.

Mohon maaf, jika ada teman-teman yang membaca postingan itu beranggapan bahwa saya ingin pamer keberhasilan dalam ngeblog. Mudah-mudahan tidak ada niat sedikit pun untuk pamer ketika saya menulis postingan tersebut, karena nyatanya postingan tersebut dapat mengingatkan saya kembali akan berkah dan anugerah ngeblog. Sebagai blogger, saya juga bisa terserang bad mood, kehilangan semangat ngeblog. Alhamdulillah, dengan membaca postingan yang saya tujukan sebagai wujud syukur itu, semangat ngeblog pun kembali.

Di akhir tahun ini, saya juga mendapatkan telepon dari reporter Wanita Indonesia, yang mewawancarai saya dalam rangka hari Ibu. Ketika saya tanya dari mana dia tahu tentang saya, ternyata dia membaca blog saya. Entah blog yang mana, dari situ saya semakin yakin  bahwa blog bisa menjadi sangat bermanfaat, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.

Terima kasih untuk Om Nher yang sudah mengadakan Gift Away Self Reflection, yang secara tidak langsung  telah menyuntikkan vitamin ngeblog ke dalam diri saya.


Rabu, 17 Desember 2014

Membawa Buku Hingga ke Pelosok

Rumah Cahaya Penjaringan

Buku telah menjadi teman saya sejak bisa membaca. Ibu saya dulu telah membiasakan membaca buku dengan membelikan majalah seminggu sekali dan buku-buku cerita lainnya. Akibatnya, saya jadi ketagihan membaca. Saat liburan sekolah tiba, saya menyewakan koleksi buku-buku tersebut dengan menggelar Koran di depan rumah. Teman-teman menyewa dengan harga Rp 50,- per buku. Beberapa buku ada yang tidak dikembalikan. Lucunya, saat saya menagih buku itu (yang jelas-jelas di bagian dalam tertulis nama saya sebagai pemiliknya), teman saya bersikeras bahwa buku itu adalah miliknya.


Hobi membaca terus ada hingga saya dewasa. Bahkan, dari membaca pulalah saya bisa menulis dan menerbitkan buku. Uniknya, selepas kuliah S1 di Fakultas Ekonomi, saya malah diterima bekerja sebagai Editor di sebuah penerbitan, yang kemudian mempertemukan saya dengan para pegiat perpustakaan Rumah Cahaya Depok. Saya menumpang di dalam Rumah Cahaya (RumCay) Depok bersama pengurus perpustakaan. Saya tinggal bersama ratusan buku koleksi RumCay Depok.

Perpustakaan adalah tempat di mana kamu bisa membaca buku-buku secara gratis. Tujuan pembuatan perpustakaan tentu saja untuk mengembangkan minat baca di kalangan masyarakat. Saya bahagia sekali melihat Rumcay Depok didatangi oleh anak-anak, remaja, hingga orang dewasa yang hendak membaca buku di sana. Mereka bisa seharian berada di Rumcay.

Rumcay Depok menjadi perpustakaan pusat organisasi Forum Lingkar Pena dan terus menambah cabangnya di daerah. Pengurus Rumcay Depok mendatangi tempat-tempat yang akan membuka cabang Rumcay yang baru. Saya pernah ikut membuka cabang Rumcay di Bandung, Penjaringan (Jakarta Utara), dan Pekalongan. Kami mendapatkan sumbangan buku dari beberapa penerbit. Lumayan banyak juga, lho. Kami bisa membawa satu sampai dua kardus buku untuk disalurkan ke Rumah Cahaya yang baru dibuka. Setiap kali mengantarkan buku-buku itu, kami melihat wajah-wajah penuh kebahagiaan dari calon pembaca yang kebanyakan anak-anak. Melihat buku seperti melihat emas. Matanya bersinar-sinar.

Perjalanan yang paling berkesan adalah saat mengunjungi Rumah Cahaya Pekalongan, karena itu jarak terjauh yang pernah saya tempuh. Cerita komplitnya sudah ditulis di sini “Perjalanan ke Rumah Cahaya Pekalongan.” Selain ikut membuka Rumah Cahaya Pekalongan dan bertemu dengan calon-calon penulis ternama, saya juga diajak berjalan-jalan ke Pantai. Saya ingat sekali, Kota Pekalongan sangat sepi sehingga kita bisa ngebut di jalan raya hehehe…. Keberadaan Rumah Cahaya Pekalongan tentu sangat membantu mengembangkan minat baca anak-anak dan remaja, karena mereka masih kesulitan mendapatkan buku-buku.

Bersama Pengurus Rumah Cahaya Pekalongan

Salah satu penulis asal Pekalongan yang sekarang sudah menjadi seleb You Tube adalah Aveus Har (Ave), seorang penjual mie ayam yang sudah menerbitkan puluhan novel! Kisahnya bisa dijadikan inspirasi bahwa siapa pun bisa menjadi penulis. Kamu bisa melihat profilnya di video di bawah ini. Sekarang saya bangga, mengingat saya pernah bertemu langsung dengan Ave dan mendengarkan curhatnya tentang menjadi penulis. Bukan tidak mungkin, akan banyak penulis dari daerah terpencil yang berjaya di nusantara karena hobi membaca. Selama ini, masih ada anggapan bahwa profesi penulis hanya bisa dicapai oleh penulis dari kota-kota besar, karena ketersediaan akses toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di daerah terpencil, sulit menemukan toko buku, apalagi perpustakaan.


Ada seorang calon penulis yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan buku, karena ketiadaan toko buku di daerahnya. Sebenarnya tidak sulit, karena ada banyak toko buku online yang dapat mengirimkan buku hingga ke daerah. Akan tetapi, besarnya biaya ongkos kirim juga menjadi pertimbangan. Saya memiliki teman yang hobi baca dan tinggal di daerah terpencil di Kalimantan Timur. Dia selalu membeli buku di toko online, yang ongkirnya saja bisa mencapai Rp 50 ribu. Harga buku di kota-kota luar Jawa juga lebih mahal daripada di Pulau Jawa. Bisa terpaut Rp 10 Ribu sampai Rp 20 ribu.

Sebagai penulis, saya juga merasakan efek dari kurangnya minat baca terhadap penjualan buku-buku saya. Sudah lama saya tidak bergabung lagi dalam aktivitas Rumah Cahaya (sejak menikah dan punya anak), tapi saya punya mimpi untuk membuka perpustakaan juga. Sekarang ini yang bisa saya lakukan adalah memberikan buku gratis (terutama buku-buku yang baru terbit) kepada remaja-remaja melalui kuis, berhubung stok bukunya tidak banyak dan yang berminat cukup banyak. Semoga saja, dari awalnya diberikan gratis, lama-lama mereka mau membeli karena sudah suka membaca.

Harga buku semakin lama semakin tak terjangkau, sehingga banyak buku yang baru setahun terbit, eh sudah diobral. Saya antusias sekali bila ada toko buku yang berani memberikan harga jauh lebih murah daripada harga di toko lain. Keuntungan sedikit tak mengapa, asalkan yang beli banyak. Contohnya seperti penjual makanan lauk pauk di dekat sekolah anak saya. Ibu-ibu berbondong-bondong mendatangi warungnya, karena harga lauk-pauknya lebih murah dibandingkan warung makan lain. Alhasil, jualannya cepat habis. Bandingkan dengan yang mahal, sehingga tidak habis. Begitu juga dengan buku. Jika harga buku menyesuaikan daya beli, insya Allah banyak pembaca pemula yang antusias membeli.

Ah, semoga saja hobi baca dapat menjadi budaya di negara kita. Sehingga buku dapat dimasukkan dalam kategori “makanan pokok.” Ya, buku adalah makanan untuk otak kita. 













Selasa, 16 Desember 2014

Hujan, Cinta, dan Cerita tentang Kita


www.enjoypic.com

Deras.
Camar segera berlari ke pelataran sebuah rumah yang pintunya masih tertutup. Ia berlindung di teras rumah itu, berharap si empunya tak mengusirnya apabila sudah keluar rumah. Dilihatnya lantai teras rumah itu yang terkotori jejak sepatunya. Ia jadi tak enak hati, tapi apa boleh buat. Sementara hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, justru semakin deras, disertai petir menggelegar. Ia menggigil dan memeluk tubuhnya. Rasa dingin masih menghinggapinya sekalipun sudah memakai baju hangat di luar baju seragamnya.


“Hmmm.. yang mau ikut MOS, datang terlambat.”
Sebuah suara datang dari arah samping. Camar menoleh dan matanya menangkap sosok seorang cowok dengan seragam putih abu-abu. Duh! Senior! Seragam mereka bisa dibedakan karena Camar masih mengenakan seragam SMP.
“Eh, Kakak...” Camar menundukkan kepala, sikapnya itu mengundang tawa rekan bicaranya.
“Tenang saja. Aku gak ikut mlonco kamu, kok. Kamu calon anak SMA Juventia, ya? Aku dari SMA Eleazar.
“Oh… ternyata Kakak siswa SMA Eleazar…” Camar baru ngeh ketika cowok itu memperlihatkan badge nama yang tertempel di lengan seragam sebelah kanannya. “Kok Kakak tahu kalau aku calon anak SMA Juventia?”
“Ya, tahu…. Di sekolahku, calon siswa SMA Eleazar memakai topi koran warna-warni. Topi itu pasti basah sekarang. Zaman sudah jauh berubah, tapi gaya mlonconya masih sama.” cowok itu tertawa kecil.
Kulit cokelat, hidung mancung, rambut ikal, bibir tipis, dan sebuah lesung pipi di pipi kiri. Topi merah yang dikenakannya sedikit basah. Gambaran rekan bicaranya tersimpan di dalam memori otak Camar. Cukup tampan.
Kalau aku disuruh pakai caping petani, tapi baru besok dipakainya. Harusnya hari ini gak telat kalau gak hujan,” Camar membela diri. Ia menampakkan raut wajah gelisah. Ia masih harus berjalan beberapa kilometer untuk mencapai sekolahnya. Sementara jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh. Terlambat. Beberapa anak sekolah berseragam SMP seperti dirinya terlihat memaksakan diri menerobos linangan air hujan. Bibirnya gemetar, tak kuat menahan udara dingin, sebab sebagian rok dan bajunya basah terkena air hujan.
Cowok di sebelahnya menampakkan raut wajah peduli. Seakan memahami kecemasan yang sedang menghinggapi gadis di sebelahnya itu, ia mengeluarkan kata-kata penghiburan.
“Jangan khawatir. Banyak yang terlambat juga, kok.”
“Apa aku terobos juga hujan itu ya?” Camar mulai berpikir nekat. Ia tak membawa baju ganti. Jika memaksakan diri menerobos hujan, pakaiannya akan basah kuyup.
“Tidak perlu. Sebentar lagi reda,” cowok itu memandang hujan. Camar melihat tetesan air hujan menjatuhi pucuk hidungnya yang mancung. (halaman 10-12)
Penggalan kisah di atas ada dalam novel “Aku, Juliet” karya saya yang diterbitkan oleh Penerbit Moka. Hujan memang mendatangkan inspirasi. Tak sedikit penulis yang menjadikan hujan sebagai tema di dalam novelnya. Walaupun tema novel saya itu  bukan tentang hujan, tetapi ada adegan berteduh dari hujan. Bagi saya, hujan itu romantis. Sebuah novel romantis, tak lengkap rasanya bila tak ada adegan “hujan-hujanan.”
Saya mau buka rahasia mengenai adegan di atas. Adegan itu bukan sekadar imajinasi, lho, melainkan memang pernah terjadi. Kisahnya tidak benar-benar sama, ehm… tapi romantismenya cukup mendekatilah ahahaha…. Saat itu kelas 2 SMA, saya turun dari angkot sepulang sekolah. Hujan turun amat deras, sehingga berteduhlah saya di depan sebuah rumah yang kosong. Saya melihat dirinya juga berdiri di depan rumah itu, menyunggingkan sedikit senyum, lalu kami berteduh berdua.
Dag, dig, dug… jiwa muda bergejolak. Saya memperhatikan tetesan hujan jatuh ke pucuk hidungnya yang mancung. Tak ada banyak kata yang kami ucapkan, karena saya memutuskan untuk segera naik ojek, sedangkan dia jalan kaki :D (kalau mau romantis, mestinya saya juga jalan kaki bersama dia ya, rumah kami hanya terpaut beberapa rumah).  Lagipula, dia memang seorang pendiam. Tak seperti adegan di atas, kami hanya bertukar sapa.
“Hai, La….”
“Eh, kamu….” (namanya saya rahasiakan saja, deh).
Namanya juga novelis. Bertahun kemudian, sepotong adegan saat berteduh dari hujan itu menjelma menjadi bagian di dalam novel, dengan banyak kata berhamburan dari kedua tokohnya: Camar dan Abby. Eh, terus.. terus… si dia itu gimana jadinya? Ngomong-ngomong, dia itu siapa sih?
Dia itu… ehm… rahasia deh, ah. Hanya satu dari laki-laki yang pernah memberikan inspirasi untuk dijadikan potongan adegan di dalam novel saya kok, hehehehe…. Barangkali pernah ada sepotong hati saya pernah singgah di hatinya, tetapi semua itu kini hanya menjadi kenangan dan bagian dalam novel saya. Seorang novelis dan hujan adalah pasangan serasi untuk merangkai kata-kata dan mengabadikannya ke dalam sebuah kisah penuh imajinasi. Setiap tetesan hujan yang turun ibarat tetesan ide yang datang dari langit. Sebab, hujan adalah wujud cinta Tuhan kepada kita. Dan sambil memandangi tetesannya, kisah cinta dapat terangkai sempurna melalui goresan pena kita.
Terima kasih hujan, yang telah melengkapi kisah di dalam novel saya itu melalui sepotong adegan di bawah hujan.

































Senin, 08 Desember 2014

Jika Tidak Ada Ibu....

RA KARTINI
"Usiamu kini 12 tahun. Mulai besok, kamu tidak usah sekolah lagi ya, Nduk."

Telingaku bagai tersengat aliran listrik mendengar kalimat Ibu tadi. Benar seperti yang telah dikatakan oleh saudara-ssaudaraku. Ketika usiaku menginjak 12 tahun, aku harus siap untuk dipingit. Ya, dipingit! Aku tidak boleh ke luar rumah lagi, terlebih untuk menuntut ilmu. Yang lebih mengerikan, aku harus siap dijodohkan! 


"Ada seorang penggede yang ingin menikahimu, Nduk..." beberapa hari kemudian, setelah aku dipingit, tebakanku menjadi kenyataan. Tubuhku bergetar, bulu kudukku meremang. Rasa takutku semakin menjadi. Tak cukup terkurung dalam sangkar emas, aku pun dipaksa menerima perjodohan! 

"Kau akan menjadi istri dari Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat...." Ibu belum selesai berbicara. Andai saja aku tak perlu mendengar kalimat selanjutnya... "...kau akan menjadi istri keempatnya!" 

Cukup sudah! Kesedihanku pun purna. Di usia 12 tahun, aku dilarang ke luar rumah. Aku tak bisa lagi sekolah bersama teman-teman wanitaku yang berkulit putih, aku tak bisa berbagi cerita bersama teman-teman lelaki pribumi, aku bahkan tak boleh berkeliaran di luar rumah. Belum cukup kesedihanku itu, aku akan dinikahkan dengan seorang lelaki yang usianya 20 tahun lebih tua dan sudah memiliki tiga orang  istri! 

Oh, Tuhan.... beginikah nasib kaum wanita di bumi Hindia Belanda? Adat dan tradisi mengekang kami. Salahkah aku menuntut ilmu? Agar aku menjadi wanita yang cerdas. Agar aku menjadi ibu yang cerdas. Ya, aku tak ingin sekadar menikah dan menjadi ibu ala kadarnya. Bukankah ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya? Begitu yang kudengar dari ceramah guru mengaji yang didatangkan Romo setiap sore. Kaum wanita juga harus menuntut ilmu. Islam tidak melarang wanita menuntut ilmu, sebab wanita kelak akan menjadi ibu yang mengajari anak-anaknya untuk pertama kali. 

Teriakan dan protesku berpantulan ke dinding. Kuambil kertas dan mulai mencurahkan isi hatiku dalam bentuk surat. Syukurlah, aku punya kesempatan sekolah walau hanya sebentar, sehingga aku sudah bisa menulis dan membaca. Kukirim surat kepada sahabat-sahabat Eropaku, mengecam ketidakadilan yang menimpa wanita pribumi. Apakah wanita diciptakan hanya untuk menjadi konco wingking (teman di dapur) kaum pria? Jika aku hendak dinikahkan dan kelak menjadi ibu, aku tak ingin hanya menjadi ibu yang "biasa." Aku ingin menjadi ibu yang "luar biasa" di mata anak-anakku. 

Bogor, 2014
Anak-anak bermain di sekitarku, sementara kedua tanganku sibuk mengetik di laptop. Di sela tugas mengasuh anak, aku sempatkan untuk menulis, menuangkan isi pikiranku. Kubaca kembali riwayat Kartini yang meninggal di usia muda, 25 tahun. Aku ingat, di usia 25 tahun itu, aku baru menikah. Usia 26 tahun, aku melahirkan si sulung. Usia 27 tahun, aku melahirkan anak kedua. Dan di usia 30 tahun, aku melahirkan anak ketiga.

Kini, aku sibuk mengurus anak. Anak-anak yang menyita stok kesabaran dan kelembutanku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan kantor, sebulan setelah menikah karena ingin fokus mengasuh anak. Aku bersyukur tak harus menikah di usia 12 tahun dan bisa menyelesaikan kuliah di usia 22 tahun. Tak terbayangkan bila aku masih hidup pada zaman Kartini. Barangkali aku sudah memiliki belasan anak di usia 30 tahun, sebagaimana ibu-ibu zaman dulu. Sementara suamiku bukanlah milikku seorang. Barangkali aku juga tidak tahu bagaimana mengajari anak-anakku, karena aku tidak sekolah sampai tuntas.

Dan yang utama, barangkali aku tidak bisa menulis. Aku tak bisa menuangkan isi hati dan pikiranku. Aku tak bisa punya karya, yang kuhasilkan sembari mengasuh anak.

Terima kasih, Ibu Kartini. Perjuanganmu mengangkat wanita Indonesia agar bisa menjadi ibu yang cerdas, kini telah banyak menorehkan hasil. Walaupun masih banyak wanita yang belum mendapatkan pendidikan dan derajat kehidupan sebagaimana yang kauimpikan. Aku tahu... perjuangan kaum wanita masihlah panjang.... untuk menjadi ibu yang cerdas dan berarti, tak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga orang lain.



Jumat, 05 Desember 2014

Novel Surga yang Terlarang dan Skripsi dengan Nilai A


Apa yang paling membahagiakan kita selain karya yang kita tulis membawa manfaat bagi pembaca? Alhamdulillah, Novel Surga yang Terlarang dijadikan tema skripsi seorang pembaca. Skripsi tersebut telah disidangkan dan mendapatkan nilai A. Sebagai penulis novel tersebut, saya bersyukur sekali novel yang saya tulis sambil mengasuh dua balita itu bisa memberikan manfaat kepada pembaca. Saya membayangkan skripsi tersebut dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa lain (terutama yang mau menulis skripsi juga), seperti saat saya dulu menyusun skripsi. 




Semoga saya tetap diberikan kekuatan dan semangat untuk menulis, terutama menulis untuk kebaikan. Aamiin....