Sabtu, 14 Februari 2015

Yang Tersimpan dalam Buku Harian


Jantungku sudah berdebar kencang sejak masih di rumah. Jam 06.30, aku sudah harus berada di sekolah. Pakaianku masih putih biru, meskipun sudah diterima sebagai siswa di SMA itu. Pakaian seragam itu masih akan kukenakan hingga seminggu ke depan dalam rangka MOS (Masa Orientasi Siswa). Sekolah baruku sudah ramai ketika aku sampai. Kami mengikuti upacara bendera sekaligus pembukaan MOS. Peluh dan keringat bercucuran di sekujur tubuh, rasanya tidak nyaman dan ingin cepat-cepat masuk kelas. Sayangnya, kepala sekolahku yang baru itu sangat suka berbicara. Barangkali sudah satu jam dia berdiri di podium dan berbicara dari A sampai Z. Itu masih mending dibandingkan tiga tahun lalu saat aku baru masuk SMP. Punggungku gatal menyiksa karena aku baru pertama kali memakai bra.


Akhirnya, kami diperkenankan masuk ke dalam kelas. Aku masuk ke kelas nomor tiga dari depan. Perasaan gugup  menerjang, karena tak ada seorang pun yang kukenal. Takut-takut, aku menghampiri meja nomor tiga, baris kedua, yang salah satu kursinya masih kosong. “Hai, duduk sini!” si pemilik kursi di sebelah kursi kosong itu memanggilku. Tubuhnya ramping, rambutnya dipotong bob, dan pipinya tirus. Agaknya aku akan senang duduk dengannya. Kami pun berkenalan. Aku senang sudah mendapatkan seorang teman di hari pertama.

Tak lama, bunyi bel yang masih kuno dengan suara “Kring… kring…” terdengar di seantero sekolah. Kami langsung duduk tenang, diikuti dengan kedatangan beberapa senior ke dalam kelas. Mereka sudah memakai pakaian seragam putih abu-abu yang lebih keren daripada putih biru. Wajah-wajah mereka terlihat jauh lebih dewasa. Ada dua perempuan dan tiga laki-laki. Yang perempuan terlihat cantik dan terawat, tidak seperti anak-anak SMP sepertiku yang masih belum piawai merawat tubuh. Wajah mereka bersinar dengan senyum percaya diri yang sulit kutandingi. Mereka adalah senior MOS yang bertanggungjawab di kelas kami. Salah satu dari mereka berbicara dan memperkenalkan diri, selang sepuluh menit kemudian….

“Eh, sorry, gue telat!” seseorang menyela, masuk ke dalam kelas dengan langkah percaya diri, bibir yang mengumbar tawa.

“Ah, elo… pake telat, lagi!” sahut seorang senior MOS. Dan senior yang telat itu kembali menghamburkan tawa. Aku kira, kegiatan MOS itu akan sangat menyenangkan, sampai….

“Gue tuker-tuker dulu ya bangkunya! Biar elo semua bisa kenalan!” senior MOS yang terlambat itu mengajukan usulan. Aih! Tukar-tukar bangku? Pun dengan teman yang duduk di sebelahku itu, aku baru mengenalnya.

“Heh, kamu, kamu pindah ke sana, ya!” senior MOS yang telat itu, mulai menukar-nukar bangku kami. Aku deg-degan. Apakah bangkuku juga akan ditukar? Mataku pun mau tak mau tak bisa lepas dari memandang senior MOS yang telat itu. Wajahnya biasa saja, tidak bisa dideskripsikan seperti tokoh-tokoh cowok di dalam novel, semacam tinggi, putih, berhidung mancung, dan lain-lain. Deskripsi fisiknya biasa saja, kelak, teman-temanku menyebutnya “standar.” Lalu, apa yang membuat…..

Astaga! Mataku bersirobok dengan matanya. Tatapan matanya segera menghujam jantungku. Aku merasakan serbuan ombak di dalam dadaku. Jantungku berdetak amat kencang. Perutku pun  mulai bergejolak. Oke, baiklah…. Kenapa dia jadi terlihat tampan? Dia berlalu melewatiku…. Ah, syukurlah….

Tapi…..

“Kamu…”
“Gue?” teman di sebelahku menyahut. Aku menoleh ke samping, dan terkejut!
“Bukan, kamu….” Matanya memandangku. “Kamu pindah ya belakang.”

Aku terpana. Dia bicara padaku! Dia meninggalkanku setelah bicara singkat, tapi hatiku masih terus menyimpannya kelak sampai tiga tahun masa belajarku di SMA itu. Oya, aku pindah ke bangku paling belakang. Dia akan sering berada di belakangku, menyandar pada tembok, atau sesekali berpegangan pada sandaran kursi yang kududuki. Membuat deburan ombak di dadaku tak berhenti. Membuatku semakin hanyut dalam lautan cinta.

Sebuah pesan masuk ke dalam inbox hapeku. Aku segera meraih hape yang tergeletak di samping tempat tidur. Tanganku refleks meraba perutku yang berisi janin berusia 7 bulan. Calon putra pertamaku. Dua bulan menjelang melahirkan, aku diungsikan ke rumah mertua. Suamiku masih tetap tinggal di Bogor karena harus bekerja. Menjalani LDR dengan suami di saat hamil tua itu sungguh menyiksa. Akan tetapi, suamiku merasa lebih aman bila aku tinggal bersama ibunya, agar ada yang menemani bila tiba-tiba melahirkan. Kami menuntaskan rindu dengan mengirim sms dan menelepon. Dua minggu sekali, suami menemuiku tapi tetap saja kelak aku lebih suka ditemani suami dalam keadaan bagaimana pun.

Aku selalu berbunga-bunga setiap menerima sms dan telepon dari suami. Seperti siang itu. Cepat-cepat aku baca smsnya, yang kali itu membuat jantungku melompat kaget. Mulutku menganga membaca kalimatnya,
“Aku tadi ketemu sama… di kantor, lho. Dia titip salam buat kamu….”

Suami menulis nama seseorang yang sudah lama kukubur. Seseorang yang mengisi masa putih abu-abuku dengan sejuta warna—merah jambu, merah, kuning, abu-abu, hitam, putih…. Tanganku bergetar memegang hape, bingung merangkai kalimat balasan untuk suamiku. Ya Allah, suamiku bertemu dia? Sejuta pertanyaan menuntut jawaban. Bagaimana suamiku dan dia bisa berkenalan? Aku coba merangkai logika, rasanya tidak mungkin mereka bisa kenal. Ah, tidaaaaak!

Aku tanyakan kepada suami, eh jawabannya malah,
“Ya gitu deh… penasaran, yaa….”

Suamiku tak membalas lagi, membiarkanku dalam kebingungan. Aku tidak pernah menceritakan soal dia kepada suamiku, dan bagaimana mungkin juga dia tahu bahwa suamiku itu menikah denganku? Aku tak berani tanya-tanya lagi karena nanti suamiku berpikir aku masih menyimpan perasaan kepadanya. Peristiwa kebetulan itu lebih mirip adegan sinetron. Walaupun aku penulis novel, aku tak percaya dengan adegan-adegan kebetulan seperti itu karena aku memang jarang sekali mengalaminya.

Waktu berlalu, buah cinta kami telah lahir, membuatku semakin mencintai suamiku. Lelaki yang bukan lelaki pertama yang mengisi hatiku, tetapi berhasil mengambil seluruh porsi cintaku untuk laki-laki lain. Setelah menikah dengannya, aku melupakan semua cinta yang pernah singgah di hatiku. Aku masih penasaran bagaimana suamiku mengenal dia, sampai kemudian mendapatkan waktu yang tepat untuk bertanya.

“Bagaimana aku kenal dia? Itu… dia ada di buku harianmu, kan. Waktu itu aku lagi bersih-bersih lemari dan nemuin buku harianmu itu.” Suamiku tertawa, membuat wajahku memerah. Telunjuknya terarah pada buku harian yang tersimpan di dalam lemari bukuku. Kukira, suamiku tak akan pernah membacanya karena dia tak suka membaca buku apalagi membereskan lemari buku. Dengan alasan banyak rayap, suamiku membongkar koleksi-koleksi bukuku dan menemukan buku harian itu.

“Kamu itu… rajin banget nulis tentang dia. Kalau tentang aku, nulis juga nggak?” suamiku menggoda.
“Banyaaak…. Semua smsmu sebelum nikah pun sudah kutulis tuh, detil, dari tanggal, isi, walaupun isinya sepele….”
“Dasar penulis! Kamu masih cinta ya sama dia, kok buku hariannya masih disimpan?”
“Enggaklah! Ini kan kusimpan untuk bahan nulis novel. Makanya, jangan baca-baca buku harian orang!” aku mencubit suamiku, dan dia tertawa.
“Kayaknya cuman aku laki-laki yang mau nikah sama kamu. Itu buktinya dia nggak mau jadian sama kamu, hahahahaha….! Eh, jangan masukin sms-smsku ke dalam novel!” Suami tertawa, seolah bangga sekali bisa mengerjai istrinya. 

Ah, cinta pertama… namamu masih ada di dalam buku harianku karena aku membutuhkannya untuk bahan riset novel-novelku. 

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar