“Coba kamu mandiri dong, masa ke mana-mana minta ditemani terus?”
Saran dari salah seorang sahabat saya semasa di bangku kuliah itu masih terus terngiang di telinga, sampai membuat saya bertekad suatu ketika nanti saya harus berani bepergian sendirian! Barangkali karena semasa kecil orangtua tidak memberikan kepercayaan kepada saya untuk “ngebolang”, akhirnya saya menjadi phobia jalan. Entah apa namanya phobia yang satu itu, deh. Pokoknya, kalau disuruh bepergian sendirian ke tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, pasti saya sudah paranoid duluan. Ujung-ujungnya, nyari teman yang bisa diajakin pergi.
Setelah menikah, saya tambah phobia jalan, apalagi menjadi ibu rumah tangga yang lebih banyak di rumah. Dan sepertinya, kondisi semacam itu tidak hanya dialami oleh saya. Seorang teman saya yang tadinya petualang, suka naik gunung, suka jalan-jalan ke tempat-tempat jauh, eh setelah terkurung di dalam sangkar emas bertahun-tahun, berubah menjadi burung yang tak bisa terbang. Ingat kan film “Rio” tentang burung langka berwarna biru yang dikurung di dalam sangkar dan tidak bisa terbang? Kondisinya malah lebih menyebalkan dibandingkan saya. Walaupun sudah ada teman jalan, tetap saja dia malas hihihi…..
Beberapa bulan ini, alhamdulillah, si kecil sudah disapih dari ASI. Sebelum disapih, saya sudah berniat untuk bisa lebih aktif di dunia luar, khususnya saat akhir pekan. Kalau hari-hari kerja, saya harus menunggui anak-anak di rumah. Waktu itu masih ada asisten rumah tangga, sekarang sudah tidak ada. Yang penting setiap akhir pekan atau minimal dua minggu sekali, saya ada kegiatan di luar deh. Tadinya saya masih repot ditemani suami dan anak-anak, sampai suami pun mengeluarkan kalimat yang mirip dengan ucapan sahabat saya di atas itu.
Saya pikir-pikir, memang benar sih kalau ikut kegiatan dengan membawa suami dan anak-anak itu jadi lebih lama. Sebelum pergi, harus menyiapkan keperluan anak-anak juga. Belum perginya kan bawa mobil, waktu di perjalanan jadi lebih lama. Lalu di tempat acara, suami kerepotan mengawasi anak-anak selagi ibunya mengikuti kegiatan. Suami merasa lebih baik menunggui anak-anak di rumah, bisa sambil tiduran dan nonton teve. Tidak capai juga karena harus menyetiri istrinya. Suami pun bersedia menunggui anak-anak di rumah, termasuk anak yang paling kecil. Yang penting saya tahu diri juga, tidak lantas setiap saat ikut kegiatan. Sesekali, bolehlah.
Jadi, inilah awal yang baru buat saya. Mandiri bepergian ke mana-mana, tidak lagi minta ditemani oleh suami dan membawa anak-anak. Pertama kali memulainya, rasanya deg-degan. Agar perjalanannya lebih cepat, saya naik kereta ke Jakarta. Bagi orang lain yang sudah terbiasa, pasti tak masalah. Ya ampun, cuma naik kereta saja masa takut? Tapi, itulah…. Perasaan deg-degan sudah dimulai dari sejak menggesekkan kartu tiket kereta, menunggu kereta yang akan datang (diperhatikan benar-benar, jurusan Tanah Abang atau Kota), naik ke dalam kereta, dan mendengarkan baik-baik suara operator setiap perhentian di stasiun, jangan sampai terlewat. Saya juga berulangkali membaca peta rute kereta listrik yang ada di bagian atas kereta. Di situ tertulis nama-nama stasiun di mana kereta akan berhenti sejenak. Kalau ingat itu, jadi geli sendiri. Itu baru pergi ke Jakarta (rumah saya di Bogor). Coba bagaimana kalau disuruh pergi ke tempat yang lebih jauh lagi?
Lama-lama saya merasakan terbiasa. Ah, ternyata gampang ya naik kereta. Coba DARI DULU saya berani melakukannya, kan saya tidak akan menolak beberapa kesempatan bagus yang pernah saya datang gara-gara suami sedang tidak bisa menemani. Apa yang membuat saya akhirnya berani memulai bepergian sendirian? Saya rasa, tidak selamanya saya bakal memiliki teman di perjalanan. Saya lahir sendirian, mati pun nanti sendirian. Apa saya mau selamanya bergantung kepada orang lain? Dulu saya bergantung kepada sahabat, setelah menikah jadi bergantung kepada suami. Kalau saya tidak menghilangkan phobia tersebut, saya akan kehilangan banyak hal, diantaranya:
Melatih kemandirian, biar tidak bergantung kepada orang lain terus.
Mengunjungi tempat-tempat baru yang menarik dan barangkali nantinya bisa diangkat ke dalam novel-novel saya.
Bertemu dengan orang-orang baru, teman-teman baru, menjaring koneksi baru, menjalin pertemanan baik itu pertemanan tulus tanpa tendensi apa-apa maupun pertemanan untuk urusan bisnis. Silaturahim memanjangkan rezeki, bukan?
Mencoba beraneka ragam menu makanan baru yang disajikan di acara-acara tersebut. Ini sih memang maunya, hihihi…..
Bisa mendapatkan bahan tulisan untuk mengisi blog ini, tentunya. Dari satu acara saja bisa dapat banyak bahan tulisan, dari mulai kuliner, tempat acaranya, tema dan materi yang diulas, pembicaranya, dan sebagainya.
Pergi sendiri, bisa bertemu salah satu penulis favorit: Ninit Yunita |
Tentunya, perjalanan saya masih panjang untuk menghapus phobia yang satu ini. Saya baru saja menghanguskan satu tiket gratis pelesiran ke Bali, gara-gara tidak berani jalan sendirian. Kalau mengajak suami dan anak-anak, nomboknya banyak sekali karena tiket ke Bali itu mahal. Saya masih berpikir, “buat apa ya jalan-jalan ke Bali sendirian? Nanti kayak orang bingung, nggak ada teman bicara.” Iya sih, saya sempat kepikiran seorang traveler yang terkenal, Trinity, pernah bicara di sebuah acara di televisi, kalau dia lebih senang jalan sendirian (solo traveler), bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia. Duh, kapan ya saya bisa seperti itu? Hm, menaklukkan Jakarta saja baru-baru ini. Pelan-pelan dululah, hehehe….
Bismillah, semoga awal yang baru ini dapat membuat banyak perubahan pada diri saya, terutama menaklukan rasa takut akan kesendirian. Berdua memang lebih baik, tapi sendiri itu pasti.