Minggu, 07 Juni 2015

Ke Solo, Aku akan Kembali

Salah satu acara keluarga besar di Solo


“Yah, kapan dong kita ke Solo? Ayah kan belum pernah ke Solo, ketemu keluargaku di sana….”

Entah itu sudah yang ke berapa kalinya saya merajuk ke suami agar doi mau mengunjungi keluarga besar saya di Solo. Delapan tahun menikah dengan gadis Solo, suami malah belum pernah menginjakkan kaki di tanah kelahiran saya itu. Keluarga di Solo sudah berkali-kali meminta kami datang, apalagi banyak dari mereka yang belum bertemu muka dengan suami saya. Kendala waktu dan biaya masih menghalangi kami bersilaturahim ke Solo. Saya berharap bisa terbang gratis, supaya bisa kembali kepada akar saya di Solo.


Saya lahir di Solo, sekitar 30 tahun lalu. Ibu saya adalah perempuan Solo yang kemayu dan lembut, bekerja di Jakarta dan menikah dengan orang Jakarta, membuatnya harus menjadi warga Jakarta. Lalu, orangtua saya pindah ke Tangerang, Banten, dan sampai sekarang masih menjadi warga Tangerang. Hanya setahun sekali atau saat ada hajatan keluarga di Solo, kami menginjakkan kaki di tanah Raja Jawa itu. Setelah Mbah Kakung meninggal dunia, tak lama usai saya lulus kuliah (10 tahun lalu), saya tak pernah ke Solo lagi. Apalagi setelah ibu saya meninggal dunia, seolah garis keturunan kami dari Solo terputus begitu saja. 

Masa kecil saya tertinggal di Solo. Saya masih mengingat jelas saat-saat bermain di sekitar rumah Mbah Kakung, di Karanganyar, Solo. Aroma laut dan sawah tercium nyata. Tanah tempat kaki berpijak, tertutupi oleh pasir pantai yang terbawa jauh.  Udara di rumah Mbah Kakung itu memang kontradiktif. Udaranya panas sekali karena dekat dengan laut, tapi airnya dingin sedingin es karena dekat dengan gunung. Saya juga ingat saat bermain di Waduk, satu kilometer jauhnya dari rumah Mbah Kakung. Di sekitar Waduk, sawah menguning telah siap dipanen. Di halaman rumah Pakde dan Bude pun sering saya temukan padi-padi yang sedang dijemur.

Saya baru sekali mengunjungi air terjun Tawang Mangu, tetapi sering bermain di seputaran Taman Pancasila, tempat di mana patung-patung Pahlawan berdiri tegak menantang penjajah. Entah bagaimana keadaan taman itu sekarang, setelah Solo menjadi lebih tertib dan teratur. Lalu lintasnya lancar, dengan bangunan-bangunan tua di kanan kiri. Sewaktu saya ke Bali, pemandangannya hampir mirip dengan Solo. Ada banyak patung-patung dewata di kanan kiri jalan. Bedanya, kalau di Bali, patungnya diberi sesajen karena masih menjadi sembahan warga. Di Solo, patung-patungnya hanya menjadi hiasan bangunan tanpa ada sesajen, karena mayoritas penduduk Solo menganut Islam. Jejak-jejak peninggalan Hindu masih banyak didapati. 

No foto = Hoax? Yah, terakhir saya ke Solo, saya belum punya handphone berkamera. Kamera sungguhan pun tak ada. Itu kenapa saya mau ke Solo. Saya mau mengabadikan gambar-gambar terbaru dari sana. Dan tentunya, saya ingin bertemu dengan keluarga dan kerabat yang sudah lama tak saya temui.

Andai bisa terbang gratis, siapa orang yang ingin saya temui di Solo?
Banyaaak…! Sebagian besar keluarga besar dari ibu saya tinggal di Solo. Rumah mereka berdekatan satu sama lain. Ibu saya anak keenam dari tujuh bersaudara. Sekarang hanya tinggal tiga anak saja yang masih hidup (Pakde, Bude, dan Bulik). Akan tetapi, saudara-saudara sepupu dan keponakan saya pun bertebaran di Solo. Saya ingin menemui mereka semua, terutama Bude saya yang terkenal galak bin judes. Lho, kok Bude yang galak malah mau ditemui? Hehehe….


Beliau adalah salah satu kakak ibu saya, jadi saya memanggilnya “Bude” atau “Ibu Gede.” Beliau mewariskan sebagian rumah Mbah Kakung, karena beliaulah yang sehari-hari merawat Mbah Kakung, sendirian, sampai Mbah Kakung meninggal dunia. Setiap saya mengunjungi Mbah Kakung, saya pasti bertemu dengan Bude. Wajah beliau sebelas dua belas dengan wajah ibu saya, walaupun perangainya jauh berbeda. Kalau ibu saya super lembut, Bude kebalikannya. Setiap melihat beliau, saya jadi teringat almarhumah ibu saya. 

Sebenarnya, justru karena galaknya itulah saya jadi segan. Tapi, kalau dipikir-pikir, ternyata malah orang yang galak sama kita itulah orang yang paling berkesan di hati kita. Lagipula, Bude itu tidak benar-benar galak. Sebab, galaknya itu dalam rangka kebaikan. Misalnya, saat saya bermain di pinggir jalan raya, Bude akan marah-marah menyuruh masuk ke rumah. Atau, saat saya menonton teve terus, Bude juga akan menegur. 

Apa yang ingin saya  lakukan bersama Bude?
Dulu semasa kecil, saya sering ikut Bude ke pasar di belakang rumah Mbah Kakung, karena Bude berjualan pakaian di sana. Mungkin karena “orang pasar” itulah, suara Bude keras dan lantang. Saya jadi kangen dengan pasar itu lagi. Bude sudah tidak berjualan, tapi apa salahnya saya ikut ke pasar itu lagi? Saya juga ingin berjalan-jalan ke semua tempat yang menyimpan masa kecil saya: Waduk, Taman Pancasila, Tawang Mangu, dan lain-lain.  Tidak lupa mengunjungi semua keluarga yang ada di Solo. Saya akan mengabadikannya di dalam foto dan saya pasang di blog ini. 

Setiap akan pulang ke Jakarta, Mbah Putri dan Bude belanja dulu ke pasar untuk membelikan oleh-oleh. Makanan khas Solo yang saya sukai, diantaranya: Brem Solo yang berwarna putih, kerupuk dari nasi dengan lelehan gula merah di tengahnya, dan kue gula merah plus kacang tanah. Entahlah, saya lupa nama-namanya. Makanan khas Solo memang identik dengan manis-manis, itu bisa jadi penyebab mengapa orang Solo itu manis, hehe….

Itinerary Perjalanan
Saya memilih tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 2015, setelah lebaran Idul Fitri dan hari libur akhir pekan, jadi suami bisa ikut. Perjalanan dari Jakarta ke Solo, saya pilih naik pesawat. Mengapa naik pesawat? Tentunya supaya tidak capai di jalan. Kalau naik kendaraan lain, bisa seharian di jalan. Saat kecil, saya ke Solo naik bus. Bagaimana rasanya? Lelah. Saya ingat pernah terpaksa buang air kecil di pinggir jalan karena jalanannya macet sekali dan tidak ada WC di dalam bus. Tenang, itu waktu saya masih umur tujuh tahun kok, hehe…. Kalau naik pesawat kan hanya satu jam-an. Saya belum pernah naik Citilink, tapi kesan-kesan para penggunanya selama ini selalu positif. Selain harganya tiketnya lebih murah, juga tepat waktu dan pelayanannya mengesankan.

Untuk hotelnya, sebenarnya saya bisa saja menginap di rumah Bude, tapi sekarang ini rumahnya sudah dipenuhi menantu dan cucu-cucu. Lebih enak menginap di hotel ya. Bismillah, mudah-mudahan keinginan saya untuk Solo selepas lebaran ini bisa terwujud. Aamiin…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar