Kamis, 18 Desember 2014

Menengok Kembali Tulisan yang Membuat Semangat Ngeblog


Sebulan yang lalu, saya dilanda rasa malas ngeblog yang luar biasa. Ada banyak alasan, antara tidak ada ide nulis, tidak punya waktu, sampai kesal karena tidak menang lomba blog lagi, hehehe…. Tapi, bagaimana nasib empat blog yang sudah saya biakkan selama ini? Sayang juga kalau tidak diteruskan hobi menyenangkan yang satu ini. Akhirnya, dengan tertatih, saya kembali ngeblog. Ladalah, di blogdetik sedang diadakan lomba ngeblog marathon dengan tagline #SemangatNgeblog, lalu ada pula lomba menulis tentang suka duka menjadi ibu, di mana kontributor teraktif (yang paling banyak menulis di blog) berkesempatan menjadi pemenang.


Bukan kebetulan kalau Om Nher mengadakan gift awal berjudul “Self Reflection” alias lomba tengak-tengok blog sendiri. Idenya unik juga. Saya pun mengubek-ubek postingan di blog ini selama tahun 2014 dan ketemulah tulisan berjudul, “Momen-momen Spesial dari Ngeblog.” Membaca kembali tulisan tersebut, menyadarkan saya akan banyaknya rezeki dan berkah yang saya dapatkan dari ngeblog. Ah, mengapa saya lupa bahwa blog ini dan tiga blog lainnya telah memberikan momen-momen spesial untuk saya? Tiga momen terbesar, bahkan terjadi di pertengahan tahun 2014, artinya belum lama berlangsung, yaitu: juara pertama lomba blog Positive Parenting dari Tabloid Nakita (bahkan saya diwawancarai oleh Tabloid Nakita), pemenang PSF Blogger Awards, dan juara pertama lomba blog antirokok (mendapatkan penghargaan langsung dari Menteri Kesehatan waktu itu, Ibu Nafsiah Mboi).

Bisa ketemu Bu Menkes karena ngeblog
Masya Allah! Bagaimana saya bisa melupakan momen-momen spesial itu begitu saja? Untunglah, Om Nher mengadakan Gift Away ini, sehingga saya bisa membaca kembali postingan di atas dan tersadarkan bahwa blog-blog yang telah saya asuh selama ini sangat berjasa dalam mengembangkan kemampuan menulis. Memang, kemampuan menulis saya masih harus terus diasah, diasuh, dan diasih, agar tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan juga orang lain. Ternyata, tulisan tersebut sangat berarti buat saya, terutama untuk mengembalikan semangat ngeblog yang luntur.

Mohon maaf, jika ada teman-teman yang membaca postingan itu beranggapan bahwa saya ingin pamer keberhasilan dalam ngeblog. Mudah-mudahan tidak ada niat sedikit pun untuk pamer ketika saya menulis postingan tersebut, karena nyatanya postingan tersebut dapat mengingatkan saya kembali akan berkah dan anugerah ngeblog. Sebagai blogger, saya juga bisa terserang bad mood, kehilangan semangat ngeblog. Alhamdulillah, dengan membaca postingan yang saya tujukan sebagai wujud syukur itu, semangat ngeblog pun kembali.

Di akhir tahun ini, saya juga mendapatkan telepon dari reporter Wanita Indonesia, yang mewawancarai saya dalam rangka hari Ibu. Ketika saya tanya dari mana dia tahu tentang saya, ternyata dia membaca blog saya. Entah blog yang mana, dari situ saya semakin yakin  bahwa blog bisa menjadi sangat bermanfaat, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya.

Terima kasih untuk Om Nher yang sudah mengadakan Gift Away Self Reflection, yang secara tidak langsung  telah menyuntikkan vitamin ngeblog ke dalam diri saya.


Rabu, 17 Desember 2014

Membawa Buku Hingga ke Pelosok

Rumah Cahaya Penjaringan

Buku telah menjadi teman saya sejak bisa membaca. Ibu saya dulu telah membiasakan membaca buku dengan membelikan majalah seminggu sekali dan buku-buku cerita lainnya. Akibatnya, saya jadi ketagihan membaca. Saat liburan sekolah tiba, saya menyewakan koleksi buku-buku tersebut dengan menggelar Koran di depan rumah. Teman-teman menyewa dengan harga Rp 50,- per buku. Beberapa buku ada yang tidak dikembalikan. Lucunya, saat saya menagih buku itu (yang jelas-jelas di bagian dalam tertulis nama saya sebagai pemiliknya), teman saya bersikeras bahwa buku itu adalah miliknya.


Hobi membaca terus ada hingga saya dewasa. Bahkan, dari membaca pulalah saya bisa menulis dan menerbitkan buku. Uniknya, selepas kuliah S1 di Fakultas Ekonomi, saya malah diterima bekerja sebagai Editor di sebuah penerbitan, yang kemudian mempertemukan saya dengan para pegiat perpustakaan Rumah Cahaya Depok. Saya menumpang di dalam Rumah Cahaya (RumCay) Depok bersama pengurus perpustakaan. Saya tinggal bersama ratusan buku koleksi RumCay Depok.

Perpustakaan adalah tempat di mana kamu bisa membaca buku-buku secara gratis. Tujuan pembuatan perpustakaan tentu saja untuk mengembangkan minat baca di kalangan masyarakat. Saya bahagia sekali melihat Rumcay Depok didatangi oleh anak-anak, remaja, hingga orang dewasa yang hendak membaca buku di sana. Mereka bisa seharian berada di Rumcay.

Rumcay Depok menjadi perpustakaan pusat organisasi Forum Lingkar Pena dan terus menambah cabangnya di daerah. Pengurus Rumcay Depok mendatangi tempat-tempat yang akan membuka cabang Rumcay yang baru. Saya pernah ikut membuka cabang Rumcay di Bandung, Penjaringan (Jakarta Utara), dan Pekalongan. Kami mendapatkan sumbangan buku dari beberapa penerbit. Lumayan banyak juga, lho. Kami bisa membawa satu sampai dua kardus buku untuk disalurkan ke Rumah Cahaya yang baru dibuka. Setiap kali mengantarkan buku-buku itu, kami melihat wajah-wajah penuh kebahagiaan dari calon pembaca yang kebanyakan anak-anak. Melihat buku seperti melihat emas. Matanya bersinar-sinar.

Perjalanan yang paling berkesan adalah saat mengunjungi Rumah Cahaya Pekalongan, karena itu jarak terjauh yang pernah saya tempuh. Cerita komplitnya sudah ditulis di sini “Perjalanan ke Rumah Cahaya Pekalongan.” Selain ikut membuka Rumah Cahaya Pekalongan dan bertemu dengan calon-calon penulis ternama, saya juga diajak berjalan-jalan ke Pantai. Saya ingat sekali, Kota Pekalongan sangat sepi sehingga kita bisa ngebut di jalan raya hehehe…. Keberadaan Rumah Cahaya Pekalongan tentu sangat membantu mengembangkan minat baca anak-anak dan remaja, karena mereka masih kesulitan mendapatkan buku-buku.

Bersama Pengurus Rumah Cahaya Pekalongan

Salah satu penulis asal Pekalongan yang sekarang sudah menjadi seleb You Tube adalah Aveus Har (Ave), seorang penjual mie ayam yang sudah menerbitkan puluhan novel! Kisahnya bisa dijadikan inspirasi bahwa siapa pun bisa menjadi penulis. Kamu bisa melihat profilnya di video di bawah ini. Sekarang saya bangga, mengingat saya pernah bertemu langsung dengan Ave dan mendengarkan curhatnya tentang menjadi penulis. Bukan tidak mungkin, akan banyak penulis dari daerah terpencil yang berjaya di nusantara karena hobi membaca. Selama ini, masih ada anggapan bahwa profesi penulis hanya bisa dicapai oleh penulis dari kota-kota besar, karena ketersediaan akses toko buku dan perpustakaan. Sedangkan di daerah terpencil, sulit menemukan toko buku, apalagi perpustakaan.


Ada seorang calon penulis yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan buku, karena ketiadaan toko buku di daerahnya. Sebenarnya tidak sulit, karena ada banyak toko buku online yang dapat mengirimkan buku hingga ke daerah. Akan tetapi, besarnya biaya ongkos kirim juga menjadi pertimbangan. Saya memiliki teman yang hobi baca dan tinggal di daerah terpencil di Kalimantan Timur. Dia selalu membeli buku di toko online, yang ongkirnya saja bisa mencapai Rp 50 ribu. Harga buku di kota-kota luar Jawa juga lebih mahal daripada di Pulau Jawa. Bisa terpaut Rp 10 Ribu sampai Rp 20 ribu.

Sebagai penulis, saya juga merasakan efek dari kurangnya minat baca terhadap penjualan buku-buku saya. Sudah lama saya tidak bergabung lagi dalam aktivitas Rumah Cahaya (sejak menikah dan punya anak), tapi saya punya mimpi untuk membuka perpustakaan juga. Sekarang ini yang bisa saya lakukan adalah memberikan buku gratis (terutama buku-buku yang baru terbit) kepada remaja-remaja melalui kuis, berhubung stok bukunya tidak banyak dan yang berminat cukup banyak. Semoga saja, dari awalnya diberikan gratis, lama-lama mereka mau membeli karena sudah suka membaca.

Harga buku semakin lama semakin tak terjangkau, sehingga banyak buku yang baru setahun terbit, eh sudah diobral. Saya antusias sekali bila ada toko buku yang berani memberikan harga jauh lebih murah daripada harga di toko lain. Keuntungan sedikit tak mengapa, asalkan yang beli banyak. Contohnya seperti penjual makanan lauk pauk di dekat sekolah anak saya. Ibu-ibu berbondong-bondong mendatangi warungnya, karena harga lauk-pauknya lebih murah dibandingkan warung makan lain. Alhasil, jualannya cepat habis. Bandingkan dengan yang mahal, sehingga tidak habis. Begitu juga dengan buku. Jika harga buku menyesuaikan daya beli, insya Allah banyak pembaca pemula yang antusias membeli.

Ah, semoga saja hobi baca dapat menjadi budaya di negara kita. Sehingga buku dapat dimasukkan dalam kategori “makanan pokok.” Ya, buku adalah makanan untuk otak kita. 













Selasa, 16 Desember 2014

Hujan, Cinta, dan Cerita tentang Kita


www.enjoypic.com

Deras.
Camar segera berlari ke pelataran sebuah rumah yang pintunya masih tertutup. Ia berlindung di teras rumah itu, berharap si empunya tak mengusirnya apabila sudah keluar rumah. Dilihatnya lantai teras rumah itu yang terkotori jejak sepatunya. Ia jadi tak enak hati, tapi apa boleh buat. Sementara hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, justru semakin deras, disertai petir menggelegar. Ia menggigil dan memeluk tubuhnya. Rasa dingin masih menghinggapinya sekalipun sudah memakai baju hangat di luar baju seragamnya.


“Hmmm.. yang mau ikut MOS, datang terlambat.”
Sebuah suara datang dari arah samping. Camar menoleh dan matanya menangkap sosok seorang cowok dengan seragam putih abu-abu. Duh! Senior! Seragam mereka bisa dibedakan karena Camar masih mengenakan seragam SMP.
“Eh, Kakak...” Camar menundukkan kepala, sikapnya itu mengundang tawa rekan bicaranya.
“Tenang saja. Aku gak ikut mlonco kamu, kok. Kamu calon anak SMA Juventia, ya? Aku dari SMA Eleazar.
“Oh… ternyata Kakak siswa SMA Eleazar…” Camar baru ngeh ketika cowok itu memperlihatkan badge nama yang tertempel di lengan seragam sebelah kanannya. “Kok Kakak tahu kalau aku calon anak SMA Juventia?”
“Ya, tahu…. Di sekolahku, calon siswa SMA Eleazar memakai topi koran warna-warni. Topi itu pasti basah sekarang. Zaman sudah jauh berubah, tapi gaya mlonconya masih sama.” cowok itu tertawa kecil.
Kulit cokelat, hidung mancung, rambut ikal, bibir tipis, dan sebuah lesung pipi di pipi kiri. Topi merah yang dikenakannya sedikit basah. Gambaran rekan bicaranya tersimpan di dalam memori otak Camar. Cukup tampan.
Kalau aku disuruh pakai caping petani, tapi baru besok dipakainya. Harusnya hari ini gak telat kalau gak hujan,” Camar membela diri. Ia menampakkan raut wajah gelisah. Ia masih harus berjalan beberapa kilometer untuk mencapai sekolahnya. Sementara jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh. Terlambat. Beberapa anak sekolah berseragam SMP seperti dirinya terlihat memaksakan diri menerobos linangan air hujan. Bibirnya gemetar, tak kuat menahan udara dingin, sebab sebagian rok dan bajunya basah terkena air hujan.
Cowok di sebelahnya menampakkan raut wajah peduli. Seakan memahami kecemasan yang sedang menghinggapi gadis di sebelahnya itu, ia mengeluarkan kata-kata penghiburan.
“Jangan khawatir. Banyak yang terlambat juga, kok.”
“Apa aku terobos juga hujan itu ya?” Camar mulai berpikir nekat. Ia tak membawa baju ganti. Jika memaksakan diri menerobos hujan, pakaiannya akan basah kuyup.
“Tidak perlu. Sebentar lagi reda,” cowok itu memandang hujan. Camar melihat tetesan air hujan menjatuhi pucuk hidungnya yang mancung. (halaman 10-12)
Penggalan kisah di atas ada dalam novel “Aku, Juliet” karya saya yang diterbitkan oleh Penerbit Moka. Hujan memang mendatangkan inspirasi. Tak sedikit penulis yang menjadikan hujan sebagai tema di dalam novelnya. Walaupun tema novel saya itu  bukan tentang hujan, tetapi ada adegan berteduh dari hujan. Bagi saya, hujan itu romantis. Sebuah novel romantis, tak lengkap rasanya bila tak ada adegan “hujan-hujanan.”
Saya mau buka rahasia mengenai adegan di atas. Adegan itu bukan sekadar imajinasi, lho, melainkan memang pernah terjadi. Kisahnya tidak benar-benar sama, ehm… tapi romantismenya cukup mendekatilah ahahaha…. Saat itu kelas 2 SMA, saya turun dari angkot sepulang sekolah. Hujan turun amat deras, sehingga berteduhlah saya di depan sebuah rumah yang kosong. Saya melihat dirinya juga berdiri di depan rumah itu, menyunggingkan sedikit senyum, lalu kami berteduh berdua.
Dag, dig, dug… jiwa muda bergejolak. Saya memperhatikan tetesan hujan jatuh ke pucuk hidungnya yang mancung. Tak ada banyak kata yang kami ucapkan, karena saya memutuskan untuk segera naik ojek, sedangkan dia jalan kaki :D (kalau mau romantis, mestinya saya juga jalan kaki bersama dia ya, rumah kami hanya terpaut beberapa rumah).  Lagipula, dia memang seorang pendiam. Tak seperti adegan di atas, kami hanya bertukar sapa.
“Hai, La….”
“Eh, kamu….” (namanya saya rahasiakan saja, deh).
Namanya juga novelis. Bertahun kemudian, sepotong adegan saat berteduh dari hujan itu menjelma menjadi bagian di dalam novel, dengan banyak kata berhamburan dari kedua tokohnya: Camar dan Abby. Eh, terus.. terus… si dia itu gimana jadinya? Ngomong-ngomong, dia itu siapa sih?
Dia itu… ehm… rahasia deh, ah. Hanya satu dari laki-laki yang pernah memberikan inspirasi untuk dijadikan potongan adegan di dalam novel saya kok, hehehehe…. Barangkali pernah ada sepotong hati saya pernah singgah di hatinya, tetapi semua itu kini hanya menjadi kenangan dan bagian dalam novel saya. Seorang novelis dan hujan adalah pasangan serasi untuk merangkai kata-kata dan mengabadikannya ke dalam sebuah kisah penuh imajinasi. Setiap tetesan hujan yang turun ibarat tetesan ide yang datang dari langit. Sebab, hujan adalah wujud cinta Tuhan kepada kita. Dan sambil memandangi tetesannya, kisah cinta dapat terangkai sempurna melalui goresan pena kita.
Terima kasih hujan, yang telah melengkapi kisah di dalam novel saya itu melalui sepotong adegan di bawah hujan.

































Senin, 08 Desember 2014

Jika Tidak Ada Ibu....

RA KARTINI
"Usiamu kini 12 tahun. Mulai besok, kamu tidak usah sekolah lagi ya, Nduk."

Telingaku bagai tersengat aliran listrik mendengar kalimat Ibu tadi. Benar seperti yang telah dikatakan oleh saudara-ssaudaraku. Ketika usiaku menginjak 12 tahun, aku harus siap untuk dipingit. Ya, dipingit! Aku tidak boleh ke luar rumah lagi, terlebih untuk menuntut ilmu. Yang lebih mengerikan, aku harus siap dijodohkan! 


"Ada seorang penggede yang ingin menikahimu, Nduk..." beberapa hari kemudian, setelah aku dipingit, tebakanku menjadi kenyataan. Tubuhku bergetar, bulu kudukku meremang. Rasa takutku semakin menjadi. Tak cukup terkurung dalam sangkar emas, aku pun dipaksa menerima perjodohan! 

"Kau akan menjadi istri dari Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat...." Ibu belum selesai berbicara. Andai saja aku tak perlu mendengar kalimat selanjutnya... "...kau akan menjadi istri keempatnya!" 

Cukup sudah! Kesedihanku pun purna. Di usia 12 tahun, aku dilarang ke luar rumah. Aku tak bisa lagi sekolah bersama teman-teman wanitaku yang berkulit putih, aku tak bisa berbagi cerita bersama teman-teman lelaki pribumi, aku bahkan tak boleh berkeliaran di luar rumah. Belum cukup kesedihanku itu, aku akan dinikahkan dengan seorang lelaki yang usianya 20 tahun lebih tua dan sudah memiliki tiga orang  istri! 

Oh, Tuhan.... beginikah nasib kaum wanita di bumi Hindia Belanda? Adat dan tradisi mengekang kami. Salahkah aku menuntut ilmu? Agar aku menjadi wanita yang cerdas. Agar aku menjadi ibu yang cerdas. Ya, aku tak ingin sekadar menikah dan menjadi ibu ala kadarnya. Bukankah ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya? Begitu yang kudengar dari ceramah guru mengaji yang didatangkan Romo setiap sore. Kaum wanita juga harus menuntut ilmu. Islam tidak melarang wanita menuntut ilmu, sebab wanita kelak akan menjadi ibu yang mengajari anak-anaknya untuk pertama kali. 

Teriakan dan protesku berpantulan ke dinding. Kuambil kertas dan mulai mencurahkan isi hatiku dalam bentuk surat. Syukurlah, aku punya kesempatan sekolah walau hanya sebentar, sehingga aku sudah bisa menulis dan membaca. Kukirim surat kepada sahabat-sahabat Eropaku, mengecam ketidakadilan yang menimpa wanita pribumi. Apakah wanita diciptakan hanya untuk menjadi konco wingking (teman di dapur) kaum pria? Jika aku hendak dinikahkan dan kelak menjadi ibu, aku tak ingin hanya menjadi ibu yang "biasa." Aku ingin menjadi ibu yang "luar biasa" di mata anak-anakku. 

Bogor, 2014
Anak-anak bermain di sekitarku, sementara kedua tanganku sibuk mengetik di laptop. Di sela tugas mengasuh anak, aku sempatkan untuk menulis, menuangkan isi pikiranku. Kubaca kembali riwayat Kartini yang meninggal di usia muda, 25 tahun. Aku ingat, di usia 25 tahun itu, aku baru menikah. Usia 26 tahun, aku melahirkan si sulung. Usia 27 tahun, aku melahirkan anak kedua. Dan di usia 30 tahun, aku melahirkan anak ketiga.

Kini, aku sibuk mengurus anak. Anak-anak yang menyita stok kesabaran dan kelembutanku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan kantor, sebulan setelah menikah karena ingin fokus mengasuh anak. Aku bersyukur tak harus menikah di usia 12 tahun dan bisa menyelesaikan kuliah di usia 22 tahun. Tak terbayangkan bila aku masih hidup pada zaman Kartini. Barangkali aku sudah memiliki belasan anak di usia 30 tahun, sebagaimana ibu-ibu zaman dulu. Sementara suamiku bukanlah milikku seorang. Barangkali aku juga tidak tahu bagaimana mengajari anak-anakku, karena aku tidak sekolah sampai tuntas.

Dan yang utama, barangkali aku tidak bisa menulis. Aku tak bisa menuangkan isi hati dan pikiranku. Aku tak bisa punya karya, yang kuhasilkan sembari mengasuh anak.

Terima kasih, Ibu Kartini. Perjuanganmu mengangkat wanita Indonesia agar bisa menjadi ibu yang cerdas, kini telah banyak menorehkan hasil. Walaupun masih banyak wanita yang belum mendapatkan pendidikan dan derajat kehidupan sebagaimana yang kauimpikan. Aku tahu... perjuangan kaum wanita masihlah panjang.... untuk menjadi ibu yang cerdas dan berarti, tak hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga orang lain.



Jumat, 05 Desember 2014

Novel Surga yang Terlarang dan Skripsi dengan Nilai A


Apa yang paling membahagiakan kita selain karya yang kita tulis membawa manfaat bagi pembaca? Alhamdulillah, Novel Surga yang Terlarang dijadikan tema skripsi seorang pembaca. Skripsi tersebut telah disidangkan dan mendapatkan nilai A. Sebagai penulis novel tersebut, saya bersyukur sekali novel yang saya tulis sambil mengasuh dua balita itu bisa memberikan manfaat kepada pembaca. Saya membayangkan skripsi tersebut dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa lain (terutama yang mau menulis skripsi juga), seperti saat saya dulu menyusun skripsi. 




Semoga saya tetap diberikan kekuatan dan semangat untuk menulis, terutama menulis untuk kebaikan. Aamiin.... 


Rabu, 26 November 2014

Menunggu Sempurna, Kapan Punya Bukunya?

Novel Dag, Dig, Dugderan di toko buku Lotus
Tanjung Pinang. Foto dari Riawani Elyta
Beberapa waktu lalu, ada seorang pembaca setia buku-buku saya (jiyaaah.. setia :P) mengetag link goodreads novel pertama saya "Oke, Kita Bersaing." Setelah hampir 7 tahun berlalu, saya malah baru membaca komentar-komentar pembaca goodreads terhadap buku itu. Wow! Ternyata banyak juga yang komentar, padahal dulu saya nggak main di goodreads. Saya baru buka akun goodreads setahun belakangan, karena mau ikut lomba resensi :P 


Apa yang saya baca di sana? Komentar pertama justru memberikan rating 2! Iya, 2! Komentarnya pun panjang dan "pedas." Cukup membuat panas hati. Barangkali kalau saya membacanya 7 tahun lalu, saya akan meledak-ledak nggak terima. Syukurlah, sekarang saya sudah semakin teruji oleh kritik, jadi senyum-senyum. Apalagi si komentator bilang: "Andai novel ini saya baca saat masih SMP, saya pasti suka. Andai novel ini saya baca saat masih SMA, ya masih bisa suka. Tapi, saya bacanya setelah dewasa dan novel ini banyak kekurangannya." Nah, kaaan... berarti dia salah baca. Sebab, novel "Oke, Kita Bersaing" memang ditujukan untuk pembaca remaja, bukan yang "sok" dewasa seperti dia :P 

Andai waktu itu saya menunggu dewasa dulu supaya bisa menghasilkan tulisan yang "dewasa" atau sempurna, barangkali novel "Oke, Kita Bersaing" nggak akan terbit. Novel itu juga nggak akan bisa memenangkan sayembara penulisan novel remaja di sebuah penerbit. Dan nggak akan ada pembaca setia yang mengetag  link goodreads novel tersebut, saking dia suka banget sama novel itu sampai dicarinya pula di goodreads (jiyaaaah :P). 

Saya bersyukur sudah mulai menulis sejak remaja. Ketika membaca novel-novel lama, saya juga membatin, "Aduh.... tulisanku dulu kok gini, yaa?" Tentu saja, karena otak saya sudah berkembang. Gaya menulis juga berkembang. Mudah-mudahan sih semakin bagus, ya. Alhamdulillah, saya nggak menunggu tulisan jadi sempurna dulu, baru dipublikasikan. Kalau iya, barangkali sampai sekarang saya belum juga punya buku karena tulisan saya nggak akan pernah menjadi sempurna. Bukankah nggak ada seorang pun yang sempurna selain Allah Swt? 

Sesempurna apa pun tulisan kita di mata kita, pasti kelak akan mendapatkan kritik juga dari pembaca. Memangnya penulis-penulis senior yang sering dipuji macam Dee, Andrea Hirata, dan Tere Liye nggak pernah dikritik? Pasti pernah! 

Begitu juga saat mengikuti lomba menulis. Saya lebih sering kalah daripada menang. Dulu saat pertama ikut lomba blog, saya rajin mengikuti semua lomba dan rajin kalah. Saya memaksakan diri untuk mengikuti banyak lomba, bukan semata untuk meraih kemenangan. Yang utama adalah, mempertahankan konsistensi menulis. Sebagai penulis, saya juga sering dilanda rasa malas menulis, nggak mood, jenuh, pura-pura sibuk, dan sebagainya. Kalau saya berhenti menulis, nggak ada orang yang rugi. Justru saya sendiri yang rugi. Maka, saya paksa terus untuk menulis walaupun hasilnya jelek. Ya itulah, hasilnya... nggak menang lomba :D

Kadang-kadang saya bisa memprediksi, mana tulisan yang bakal menang, mana yang nggak. Biasanya, kalau saya sedang mood nulisnya, insya Allah menang. Tapi, kalau saya nggak mood, hasilnya memang nggak bagus. Setidaknya saya sudah mengalahkan rasa malas menulis. Lumayan toh blog ini dan blog-blog lain bisa update terus. 

Ada lagi penulis yang nggak mau nulis buku karena nggak pede, "siapa yang nanti baca bukuku? Aku bukan orang terkenal." Jiyaaaaaaah.... ngapain mikirin itu? Novel-novel saya nggak begitu banyak diapresiasi di facebook dan twitter, tapi ada aja pembaca yang kirim imel. Berarti dia nggak facebookan dan twitteran. Jadi, yakin deh novel kita pasti ada yang baca. 

Eheeem.. ngapain ya saya nulis begini? Ntar jadi banyak yang pengen nulis buku dan nyaingin saya nih... :D

Kamis, 20 November 2014

Novelmu Belum Selesai-Selesai....?!

Maulida Rezsha dan Brisbane
Ketika saya menulis postingan blog ini, saya sedang memandangi tiga draft novel yang belum selesai dari tahun kapan. Entahlah kenapa saya sulit sekali menyelesaikannya? Lah, terus kenapa menulis postingan ini? Siapa tahu saya bisa dapat motivasi untuk diri sendiri. Iya, saya memang sedang malas menulis. Bahkan menulis postingan blog ini pun malasnya luar biasa. Tantangan menjadi penulis terasa berat akhir-akhir ini. Apa sajakah itu? Ada deh hehehe.... 


Lalu, saya teringat momen-momen ketika menyelesaikan penulisan novel Brisbane dan Dag, Dig, Dugderan. Keduanya saya tulis dalam waktu berdekatan dan sama-sama selesai dalam waktu 3 minggu! Kalau ingat masa-masa itu, seharusnya saya bisa menerapkannya lagi sekarang ya. 

Berikut ini hal-hal yang barangkali menjadi penyebab mengapa novelmu belum selesai juga:

Neida Camelia dan Dag, Dig, Dugderan
  1. Tidak ada waktu: ini alasan yang klise banget, terutama bagi penulis yang punya pekerjaan lain ya ibu rumah tangga, anak sekolah, mahasiswa, pekerja, dan lain-lain. Pagi hari waktunya mengurus anak-anak. Dua anak sekolah dan satu batita yang suka ikut ke sekolah juga. Bangunin, mandiin, makein baju, siapin bekal, dll. Jadwal saya bertambah pula mengantar si tengah ke sekolah, sejak dua bulan lalu, supaya saya bisa makin lancar naik motor dan menghemat biaya  ojek. Pulang dari ngojekin, nggak bisa langsung ngetik karena masih harus nemenin di bungsu yang masih suka gelendotin. Jam 1/2 11 jemput anak lagi, trus ngelonin si bungsu tapi nggak tidur-tidur juga. Tau-tau udah jam makan siang, nyuapin makan anak-anak. Ah, akhirnya saya kecapean dan ikut tidur pas si bungsu tidur. Bangun tidur, masih mengurusi anak-anak sampai malam. Kadang saya dapat waktu menulis ya jam segini, setelah salat Magrib. Tapi itu juga nggak tentu, kalau anak-anak minta ditemani main ya saya nggak ngetik. Nah, ketika menyelesaikan Brisbane dan Dag, Dig, Dugderan, saya menulis di malam hari. Saya paksa bangun jam 1 malam, nulis sambil sesekali menyusui si bungsu. Saya paksa begitu terus setiap hari sampai 3 minggu. Kenapa sekarang nggak bisa ya? 
  2. Tidak fokus: Era media sosial ini membuat pekerjaan penulis bertambah, yaitu bersosialisasi di dunia maya dengan facebook, twitter, blog, instagram, dsb. Itu memang bagus, tapi kalau keseringan ya jadi membunuh produktivitas, dan itu saya rasakan sendiri. Saat menyelesaikan kedua novel itu, saya berusaha menahan diri untuk nggak facebookan kecuali sesekali saja. Trik jitunya adalah, tidak mengisi kuota internet bila sudah habis. Saya hanya mengisinya ketika saya memang sudah ada bahan yang akan ditulis di blog. Fokus memang perlu, Allah Swt saja menyuruh kita khusyuk saat solat, nggak mikirin yang lain. Begitu juga menulis, harus fokus. Saya juga menahan diri ikut lomba blog. Begitu novelnya selesai, baru deh saya ikut lomba blog lagi. Untuk penyegaran. 
  3. Membuat kerangka karangan/ plot/ alur cerita dari awal sampai akhir, jadi ceritanya udah jelas akhirnya seperti apa. 
  4. Menahan diri untuk mengedit sebelum naskahnya selesai: saya punya kebiasaan mengatur-atur judul, font, mengedit sambil menulis, tapi itu cuman bikin naskah saya tersendat-sendat. Maka, saat menulis kedua novel itu, saya nulis ya nulis aja terus. Setelah selesai,  baru deh diedit. 
  5. Punya referensi bahan bacaan. Sebelum menulis kedua novel itu, saya membaca novel-novel lain yang sejenis, belajar dari penulis lain. 
  6. Jangan pikirkan mau diterbitkan di mana atau ada  yang baca atau enggak: pikiran-pikiran seperti itu cuman menghambat produktivitas. Seperti seseorang yang khawatir nggak dikasih rezeki oleh Allah Swt. Yakinlah, suatu ketika akan ada penerbit yang menerbitkan naskah kita dan orang yang membaca karya kita. 

Aaaahggg... bisa nggak ya saya praktekkin tips-tips di atas lagi supaya ketiga draft novel saya ini selesaaai??


Jumat, 14 November 2014

Foto Bersama Aku, Juliet dan Dag, Dig, Dugderan

Seneng banget kalau ada teman yang mau-maunya foto bareng buku-buku saya, apalagi kalau sampai dibaca, dibeli, dan direview, ahahahaha... kebanyakan maunya. Terima kasih untuk Mbak Triana Dewi, Arul Chandrana, dan Pangeran Senja yang sudah susah-susah berfoto bersama buku-buku saya. Itu salah satu apresiasi yang mengharukan buat saya. 






Kamis, 13 November 2014

BRISBANE, Sudah Terbit!

Alhamdulillaaaah... akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Novel terakhir saya di tahun ini (karena sepertinya sampai akhir tahun tidak ada novel baru lagi :P) sudah terbit. BRISBANE: Pesan Cinta Terhalang. Banyak yang salah baca. Dibacanya "Pesan Cinta Terlarang." Padahal, bedanya jauh banget antara Terhalang dan Terlarang. Kuisnya sudah diselenggarakan di twitter secara spontan, tapi alhamdulillah banyak yang ikutan sampai bingung milih pemenangnya. Akhirnya, dipilihlah pemenang yang serius mau baca dan mereview di blognya. Bukan apa-apa, sepertinya banyak quiz hunter yang cuman ngumpulin buku tapi bukunya nggak dibaca, heheheh....


Sayangnya, saya cuman dapat bukti terbit 5 eksemplar, jadi nggak bisa bagi-bagi lagi deh huhuhu.... Ada jatah untuk endorser juga, 2 orang. Belom lagi yang udah saya janjiin dapet bukunya untuk diresensi. Buat teman-teman lain, beli aja deh ya novel saya. Beli dong, yah.. yah.. yaah.... Seperti prediksi saya, tahun ini ketiga novel saya yang sudah terbit itu ditujukan untuk pembaca remaja. Bukan disengaja, tapi memang tahun lalu saya banyak menulis novel remaja. Brisbane bercerita tentang apa? Kayaknya sih pernah saya ceritain di blog ini juga, insya Allah kapan-kapan saya cerita lagi. 

Oya, saya suka kover Brisbane, sederhana tapi memikat (menurut saya, lho....). Terima kasih untuk disainer kovernya, nanti saya lihat dulu deh siapa yang mendisainnya, berhubung plastiknya belum dibuka. Resolusi tahun ini tercapai, ketiga novel remaja yang diprediksi terbit tahun ini, sudah diterbitkan. Alhamdulillah, atas semua nikmat ini, ya Allah... Semoga saya tetap semangat menulis dan berbagi. Aamiin....

Judul: Brisbane, Pesan Cinta Terhalang
Penulis: Leyla Hana
Penerbit: DAR! Mizan
Harga: Rp 49.000
Bisa dibeli secara online di: PARCEL BUKU http://www.parcelbuku.net/fiksi/brisbane-pesan-cinta-terhalang/


Rabu, 12 November 2014

Testimoni Pembaca Novel Aku, Juliet (2)

Alhamdulillah, dapat testimoni lagi dari pembaca novel Aku, Juliet. Jujur, seneng banget dan menambah motivasi menulis. Saya pikir novel saya nggak ada yang baca, eh ternyata ada ehehehe.... Agak-agak underestimate, soalnya teman-teman di facebook dan twitter sedikit banget yang bilang udah baca Aku, Juliet bwahahaha.... Nah, kalo yang ini kayaknya nggak berteman di facebook atau twitter, karena dia mengirim imel ke saya. 



Novel Aku, Juliet memang bacaan anak remaja dan awam (maksudnya, pembaca yang baru mulai membaca novel dan lebih suka membaca novel yang ringan). Seperti masa saya SMA dulu, saya juga sukanya baca novel yang ringan-ringan. Novel yang terlalu banyak deskripsi dan narasi, saya lewati aja narasinya soalnya bikin capek dan kening berkerut-kerut. Dulu lebih suka baca novel yang banyak dialog. Lebih parah lagi, lebih seneng baca komik karena banyak gambarnya. Sepertinya, pembaca novel Aku, Juliet ini pun demikian, karena novelnya memang banyak gambarnya. Mudah-mudahan setelah ini, dia jadi suka baca novel ya....

tersedia di Indomaret lhoo! 

Jangan takut novelmu nggak ada yang baca. Setiap novel, pasti punya pembacanya sendiri kok *kata-kata ini sebenarnya untuk menghibur diri sendiri :D. 

Sabtu, 01 November 2014

Ucapan Rasa Syukur di Hari Ulang Tahunku

Sabtu, 1 November 2014

Mestinya blogpost ini ditulis kemarin, tapi apa daya baru sempat nulisnya di tanggal 2. Yang pasti, 32 tahun lalu saya lahir di tanggal 1 November. Kemarin, saya biasa saja menghadapi hari kelahiran. Tak ada rencana mau merayakannya atau apa. Sehari sebelumnya, Sidiq, anak kedua, sakit panas dan tidak masuk sekolah. Kemarin pun masih sakit. Suami udah ngajakin jalan-jalan, tapi melihat anak sakit gitu ya nanti malah tambah parah sakitnya kalau diajak jalan-jalan. Menjelang sore, kelihatannya Sidiq sudah baikan, malah aktif dan tidak mau tidur siang. Lalu, sorenya, dapat broadcast BBM dari teman yang baru buka usaha kafe makanan Mexico di daerah Depok, bagi yang berulangtahun silakan datang, GRATIS! 


Ini bukan masalah gratisnya, sih (halaah!), tapi beberapa minggu sebelumnya, teman saya itu (Mbak Elita Duatnofa) sudah menawarkan untuk datang ke kafenya. Ulang tahun atau tidak, buat saya mah gratis dah ahahaha.... Waktu itu suami tidak mau diajak karena menurutnya, tempatnya jauh dari rumah kami. Nah, kemarin sore sepertinya karena bertepatan dengan ulang tahun saya, doi pun mau diajak. Setelah salat Magrib, kami meluncur ke Depok. Sempat nyasar-nyasar, dan Sidiq mulai menunjukkan sakit lagi. Kalau tahu masih sakit mah ditahan-tahan deh jalan-jalannya, lah pas siangnya kan kelihatannya sudah sehat. Dan benar saja, selama makan di kafe itu, Sidiq muntah beberapa kali! Tengah malam ini pun, kondisinya tambah parah dengan muntah dan mencret. Ya Allah, sembuhkanlah Sidiq, hiks.... Sedih banget, karena rencananya hari ini mau jalan-jalan ke Book Fair di Senayan. 

Sudah lama saya tidak ke Book Fair. Baru tahun ini bisa mendapatkan ijin lagi dari suami untuk ke Book Fair, mungkin karena pas saya ulang tahun :D Kenapa? Alasannya karena pengalaman ke Book Fair bawa anak-anak itu super repot, mana tempat salatnya susah, antriannya panjang, dan pusing juga nyari buku-bukunya. Mending beli di toko buku aja deh. Tapi, tahun ini saya udah niat borong buku-buku murah terbitan Gramedia dan Mizan. Kelihatannya gagal lagi karena Sidiq belum menunjukkan benar-benar sehat :') 

Balik lagi deh ke ulang tahun. Apa makna ulang tahun buat saya? Pertambahan usia, sudah tentu. Semakin sedikit waktu saya berada di bumi ini, semakin harus memperbanyak amal kebaikan. Abaikan sindiran orang-orang yang hanya ingin menghalangi saya untuk berbuat baik. Saya berharap hati bisa lebih bersih ke depannya, tidak menyimpan iri hati, dendam, kebencian, dan penyakit hati lainnya kepada orang lain. Menjadi ibu dan istri yang bermanfaat bagi suami dan anak-anak. Kalau bisa sih, lebih bermanfaat lagi untuk orang-orang di sekitar. 

Saya ingin mengutip sebuah hadist, "Barangsiapa yang tidak bersyukur (berterimakasih) kepada manusia, maka tidak bersyukur kepada Allah." (HR. Tarmidzi). Tentu saja, dalam setiap pertambahan usia, selalu ada orang-orang yang perlu saya ucapkan terima kasih atas kehadiran mereka di sisi saya. Selain kedua orang tua saya yang telah berjasa menghadirkan saya, ucapan terima kasih yang paling banyak tertuju kepada suami tercinta, orang pertama yang tadi pagi mengucapkan "Happy Birthday yaaa...." sambil bangunin dari tidur. Betapa banyak peran suami saya terhadap perbaikan hidup saya, setelah kami menikah. Semakin ke sini, semakin banyak dukungannya terhadap pekerjaan saya, ya sebagai istri, ibu, dan individu. 

Terima kasih, suamiku... :')
Pertama, suami menggaji seorang pembantu setengah hari, yang mengatasi pekerjaan rumah tangga sehingga saya tidak terlalu kecapaian dan masih punya tenaga untuk menulis. Rasulullah Saw juga dulu memberikan istri-istrinya masing-masing seorang pembantu untuk melayani kebutuhan rumah tangga. Ini sesuai dengan kapasitas saya, karena tiga anak masih kecil-kecil dan masih diurusi segala keperluannya. Kalau ditambah dengan pekerjaan rumah tangga--berdasarkan pengalaman terdahulu--tubuh saya sering sakit dan emosi juga sering naik. Daripada mempengaruhi perkembangan anak (karena ibunya sering marah-marah), lebih baik menggaji seorang pembantu. Alhamdulillah, si bibi cukup bisa diandalkan walau kita tak bisa menuntut kesempurnaan. Setidaknya saya tidak stres dengan cucian dan setrikaan baju yang menumpuk.

Kedua, suami membelikan laptop untuk peralatan menulis. Ya, laptop yang sedang saya pakai untuk mengetik blogpost ini adalah pemberian suami tercinta. Hiks, terharu rasanya kalau ingat itu. Dulu saya pikir bisa mendapatkan hadiah laptop dari lomba menulis, ternyata tetap saja suami saya yang memberikan.  

Ketiga, baru-baru ini suami membelikan motor, yang diakunya sebagai hadiah ulang tahun, hohoho.... Saya pun sudah berani mengendarai motor meski masih jarak dekat. Lumayan jadinya saya bisa mengantarjemput Sidiq sekalian jalan-jalan. Suami mengerti bahwa saya sering uring-uringan karena bosan di rumah. 

Tentu saja, itu hanya tiga dari nikmat yang diberikan suami kepada saya. Alhamdulillah, terima kasih, suamiku, jazakallahu khaira, semoga Allah membalas kebaikanmu. 

Selanjutnya, saya ingin bersyukur kepada anak-anak saya: Ismail, Sidiq, Salim, yang sudah melengkapi kehidupan saya dan menjadikan saya manusia yang bermanfaat karena mengurusi mereka setiap hari. Masih banyak sikap dan perbuatan saya sebagai ibu yang harus saya perbaiki, karena saya kurang sabar dan telaten. Ya Allah, ampuni dosa-dosa saya kepada anak-anak saya, baik itu dalam perkataan maupun perbuatan. 

Dan tentu saja saya ingin bersyukur kepada keluarga, rekan, sahabat, dan semua orang yang berinteraksi dengan saya, yang saya kenal maupun tidak saya kenal (tapi mengenal saya). Terima kasih, Mbak Elita Duatnofa untuk traktirannya di hari ulang tahun saya. Para pembaca yang membaca buku-buku saya juga tulisan-tulisan di blog ini, yang memberikan motivasi untuk terus menulis dan menyebarkan kebaikan. Semoga saya bisa terus memberi manfaat di sisa usia saya. Aamiin....

Thanks Mbak Elita Duatnofa, La Lieta Mexicana, Tanah Baru, Depok

Jazakumullahu khairan.... 



Kamis, 30 Oktober 2014

Penulis Tak Boleh Bicara Politik?

Seorang teman menulis status di facebooknya, menyebut nama seorang penulis yang sekarang lebih sering bicara politik. Dia mempertanyakan, "apakah penulis itu sekarang sudah tidak menulis buku lagi? Kok "ngomongin" politik melulu?" Nah, lho....! Apakah itu maksudnya penulis tidak boleh "ngomongin" politik? Lalu, apa yang ditulis oleh penulis? 


Sebagai penulis, saya sendiri amat jarang ngomongin politik, karena merasa itu bukan bidang saya. Sok ngerti-ngertian politik, secara saya jarang nonton atau baca berita. Kalau baca berita pun, lebih suka baca infotainment, ahahaha.... atau berita kriminal (sadis amat, yaak?). Berita politik hanya nonton yang sedang panas-panasnya saja, tapi jarang banget sih memang. Waktu pemilihan presiden, saya nonton untuk meyakinkan pilihan saja. Wajar deh kalau saya tidak begitu mengenal kedua calon presiden beserta seluruh sepak terjangnya di dunia politik. 

Penulis juga warga negara Indonesia yang memiliki hak politik. Menurut saya, tidak ada salahnya penulis ngomongin politik. Jika tulisan-tulisannya mengganggu kita, kita gunakan pengendalian diri sendiri saja. Jangan membaca tulisan-tulisannya! Di era kebebasan ini, sah-sah aja orang mau ngomong apa, termasuk penulis. Kecuali, bila dianggap melanggar hukum, nah itu urusan penegak hukum deh. 

Pramoedya
Biografinya baca di wikipedia
Berbicara tentang penulis yang ngomongin politik, justru sastrawan-sastrawan zaman dulu bersikap kritis terhadap penguasa (pemerintah), bahkan mereka sudah biasa meringkuk di dalam penjara. Sebut saja, Pramoedya Ananta Toer, yang berkali-kali ditahan sebagai TAHANAN POLITIK. Pram menghabiskan masa 3 tahun dalam tahanan penjara kolonial, 1 tahun ditahan oleh pemerintah orde lama, dan yang lebih heboh adalah ditahan selama 14 tahun oleh pemerintah orde baru! Tahu sendiri kan di masa orde baru, kita sama sekali tidak bebas berpendapat. Saya mengalami sendiri masa itu, Dunia dalam Berita (TVRI) selalu memberitakan hal-hal baik saja mengenai pemerintah Orba, sehingga kelihatannya pemerintah bekerja dengan baik. Kalau ada media yang memberitakan keburukan pemerintah, langsung deh kena bredel. Dalam novel-novel fiksinya, Pramoedya menyuarakan penentangan-penentangan terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Nah!

Dan jangan lupakan sastrawan ternama: Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka atau Buya Hamka, seorang sastrawan Indonesia, ulama, ahli filsafat, dan AKTIVIS POLITIK. Sengaja saya besarkan semua itu kata "aktivis politik" untuk menegaskan bahwa beliau juga berpolitik. Sejak muda, beliau telah aktif di politik. Sikapnya yang konsisten terhadap ajaran agama, acapkali bertentangan dengan pemerintah, sehingga beliau dipenjarakan oleh Soekarno dari tahun 1964-1966. Di dalam penjara pula ia menulis buku fenomenal "Tafsir Al Azhar."

Buya Hamka
silakan baca biografinya di wikipedia

Terlepas dari dua ideologi berbeda yang diusung oleh Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka, kita melihat bahwa sastrawan zaman dulu menulis untuk menyuarakan isi hati, meskipun itu berakibat penjara. Mereka menulis nilai-nilai mereka yakini, termasuk dalam hal POLITIK.  Tidak seperti sastrawan sekarang (termasuk saya deh) yang nulis apa aja asal ada duitnya (hadeeuuh... nyeri hate....). Saya masih jauh deh untuk nulis tentang politik. Kalau ada penulis lain yang ngomongin politik melulu, lalu kenapa? Toh, Pram dan Hamka pun ngomongin politik. Sekarang tinggal bertanya kepada diri sendiri yang mengaku penulis: sudah menulis apa hari ini? 








Minggu, 26 Oktober 2014

Novel Aku, Juliet di Indomaret Lamongan dan Makassar

Dapat kiriman foto dari Mbak Triana Dewi (Lamongan) dan Mbak Marissa Agustina (Makassar) kalau novel Aku, Juliet dipajang di Indomaret di sana. Wuiih... padahal, saya aja belom nemuin di Indomaret Citayam (Bogor). Dulu, kata Mbak Editor, Aku Juliet hanya masuk Indomaret Jabodetabek, tapi rupanya ada di luar Jabodetabek juga. Alhamdulillah, seneng banget dapat kabar ini. Semoga dengan begitu, novel ini jadi lebih mudah menyapa pembacanya. Kalau hanya di toko buku besar, tidak semua pembaca bisa mendapatkannya. 


Bagi teman-teman yang menemukan novel Aku, Juliet di Indomaret di daerahnya, boleh dong dibagi fotonya ke saya, xixixix... Eh, boleh banget kalau novelnya dibawa pulang juga, jangan lupa dibayar lho. Harga, insya Allah terjangkau :D


Aku Juliet di Indomaret Makassar

Aku Juliet di Indomaret Lamongan, Jawa Timur

Jumat, 24 Oktober 2014

Kuis Novel Dag, Dig, Dugderan

Alhamdulillah, akhirnya tiba giliran saya untuk membuat kuis novel di twitter @BAWCommunity. Yuk, temans ikut meramaikan kuis novelku ini. Caranya mudah banget:

  1. Follow twitter @LeylaHana dan @BAWCommunity
  2. Bagikan kover novel Dag, Dig, Dugderan ke tiga orang teman dengan menggunakan kalimat: "Yuk, ikut kuis novel #DagDigDugderan." 
  3. Jawab pertanyaan: Apa yang akan kaulakukan bila mendapatkan halangan dalam meraih impian?
  4. Format jawaban: [Jawaban] @BAWCommunity @LeylaHana #DagDigDugderan.
  5. Boleh jawab sebanyak-banyaknya, lho...
  6. Deadline Senin, 27 Oktober 2014.
  7. Ada 2 pemenang.
Hadiah 1: Novel terbaru Dag, Dig, Dugderan + tanda tangan penulis.


Hadiah 2: Ada paket novel berisi 3 novel lawasku.


Ditunggu partisipasinya ya, temans... :-)

Senin, 20 Oktober 2014

Roti Maryam, Makanan Kesukaan Farah "Dag, Dig, Dugderan."

Roti Maryam
Sumber gambar: Roti Maryam

Dua jam kemudian, roti maryam yang bentuknya mirip obat nyamuk bakar itu pun matang. Ummi menyisihkan tiga keping roti maryam beserta semangkuk kecil gula halus, berniat memberikan kejutan untuk Farah yang sudah lama mendekam di dalam kamar untuk belajar Matematika. Pelan, diketuknya pintu, ternyata tidak dikunci. Ummi masuk ke dalam kamar Farah dengan senyum semringah. Farah sedang mengerjakan latihan-latihan soal Matematika dengan tekun.

“Nah, ini dia pelurunya, dimakan dulu ya, Nduk….” Ummi meletakkan piring roti maryam di sebelah Farah.
Farah membelalakkan mata. Roti kesukaannya!
“Ah, Ummi….”
“Lho, kenapa?”
“Ummi menggoda saja…..” Farah menutup mata. Agaknya gula darahnya sudah terjun drastis karena belum ada glukosa yang masuk ke saluran pencernaannya. Dia sengaja berdiet, dan Ummi malah menggodanya dengan roti maryam yang bau menteganya menerbitkan air liur. Cacing-cacing di perutnya ikut bernyanyi keroncong, berteriak-teriak dengan irama tak beraturan dan membisingkan telinga.
“Perutmu bunyi to, Nduk?” tanya Ummi lagi.
Farah mengangguk.  

Hiyaaaa... membaca ulang novel Dag, Dig, Dugderan pas adegan Roti Maryam, saja jadi kangen sama makanan ituh. Adegan di atas ada di dalam novel terbaru saya lho. Inspirasi memasukkan Roti Maryam sebagai salah satu makanan kesukaan Farah (tokoh utama berdarah Arab), datang dari makanan yang pernah beberapa kali dibawakan oleh suami setiap pulang kantor. Enak banget rotinya, bentuknya seperti obat nyamuk. Tidak begitu manis, tapi renyah. 
Sayang, sekarang tukang rotinya udah nggak ada, kata suami. Entah ke mana. Harganya satu keping Rp 4.000,- tapi ukurannya besar. Makan satu aja udah kenyang karena adonanannya juga padat. Ada resep untuk membuatnya, tapi masih males mencoba. Saya lebih sering gagal masak kue, mending makannya aja deh. Jiyaaah.... 
Aduuuh... kangen banget nih sama Roti Maryam. Mudah-mudahan bisa ketemu lagi. Atau ada yang mau ngirimin ke rumah saya? :D

Tersedia di toko buku, Rp 43.000,-









Minggu, 19 Oktober 2014

Resensi Novel Aku, Juliet di Tribun Kaltim

Alhamdulillah, resensi novel Aku, Juliet, akhirnya dimuat juga di media, koran Tribun Kaltim. Terima kasih, Hairi Yanti, yang sudah berkenan mengirimkannya ke sana. Semoga kapan-kapan ada teman yang bersedia meresensikan novelku lagi dan mengirimkannya ke media :-))




Koran Tribun Kaltim, Minggu, 19 Oktober 2014