Ketika keinginan untuk mengeluh itu datang, ingatlah bahwa pekerjaanmu itu diganjari pahala jihad....
Asma bin Yazid bertanya, "Wahai Rasulullah... Allah mengutusmu untuk seluruh kaum laki-laki dan wanita. Adapun kami kaum wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki dan kami adalah tempat menyalurkan syahwatnya. Kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi, kaum lelaki mendapatkan keutamaan melebihi kami dengan salat Jumat, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka, apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?"
Rasulullah menjawab, "Kembalilah wahai Asma dan beritahukan kepada para wanita di belakangmu, bahwa perlakuan baik mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapatkan keridhoan suaminya, dan ketundukannya untuk senantiasa menaati suaminya, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan, yang dikerjakan oleh kaum laki-laki." ( HR. Muslim)
Benar kan, pekerjaan rumah tangga itu sangat berat? Saya merasakannya sendiri setelah menikah dan punya anak. Kalau sebelum menikah, hanya kadang-kadang saja saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Nyuci baju, dicuciin. Nyuci piring, dicuciin lagi. Mau makan, udah tersedia di lemari makan. Nyapu, ngepel, beres-beres? Kadang-kadang aja, malah jaraaaaaang. Soalnya dari kecil sampai lulus kuliah, saya selalu dilayani pembantu rumah tangga yang ada di rumah orang tua. Pernah sih nggak pakai pembantu, tapi kami melakukan pekerjaan rumah tangga itu bersama-sama. Saya punya dua adik perempuan (yang satu waktu itu belum lahir). Kami bagi-bagi tugas deh. Kami cuma dapat satu tugas aja kok. Itupun hanya sebentar, karena biasanya nggak lama kemudian, mama saya udah dapat pembantu baru.
Setelah menikah? OH MY GOD! Saya harus mengerjakan semuanya SENDIRIAN! Suami saya belum mau membayar pembantu saat kami baru menikah. Ya iyalaah, ngapain juga bayar pembantu, kan belum ada anak. Kami juga belum punya mesin cuci, jadilah saya nyuci jongkok. Saat usia kandungan empat bulan, saya dilarang Bidan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat-berat karena kandungannya sering kontraksi. Khawatir keguguran. Suami pun membantu mencuci sampai kandungan saya sudah kuat. Maklum deh, saya dan suami memulai berumahtangga dari NOL, dan kami bukan anak Presiden apalagi orang penting. Kami hanya punya rumah tipe 21 yang hampir hancur, karena baru ditempati setelah lima tahun dibangun. Suami membelinya sebelum menikah. Udah punya rumah aja udah bagus yah, tapi kondisinya mengenaskan deh. Kayaknya cuma saya yang mau tinggal di rumah seperti itu. Atapnya sudah bolong sehingga sering bocor, kamar mandinya jadi sarang laba-laba (pernah ada laba-laba gedeee banget), temboknya belum diplester (masih batako, booo!), minim fasilitas (jauh banget dari warnet), dan banyak lagi deh penderitaan yang harus saya rasakan #lebay. Sekarang rumahnya udah mendingan, karena suami merenovasinya setiap tahun demi kebahagiaan istri dan anak-anak hehe....
Suami meminta saya di rumah saja, alias keluar dari pekerjaan, kecuali saya bisa mendapatkan pekerjaan yang memberikan gaji di atas semua pengeluaran (transportasi dan makan). Kenapa? Pekerjaan saya memang gajinya seuprit, masih mending upah buruh deh. Setelah saya hitung-hitung, memang sih gaji yang saya terima bakalan habis untuk transport dan makan siang di kantor. Yah, nggak ada artinya. Saya juga belum hamil setelah empat bulan menikah. Suami pikir saya kecapean kerja. Jadi, alasan saya untuk keluar dari pekerjaan itu sangat kuat. Oke, deh, saya sudah di rumah, lalu apa? Ya ampuuuun... berada di rumah terus-menerus itu sangat membosankan! Apalagi ditambah dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang nggak ada habisnya.
Kemudian, dua anak saya lahir berturut-turut dengan hanya selisih setahun. Tiga tahun kemudian, adiknya lahir lagi. Sampai sekarang, saya masih mengasuh tiga anak di bawah usia 10 tahun yang repotnya astaghfirullah. Setelah punya anak pertama, suami mau membayar pembantu, tapi ya itu, pembantu datang dan pergi. Maksudnya, kadang ada pembantu, kadang enggak. Dan sekarang saya kembali nggak pakai pembantu, karena si Bibi hamil dan nggak boleh kerja keras. Terasa sekali beratnya, badan saya kayak pintu yang mau lepas engselnya. Pegal-pegal nggak habis-habis. Itu pekerjaan rumah tangga kok kayak nggak ada habisnya yah. Pusing saya.
Kalau ngomongin soal galau dan pengen kerja lagi di kantor mah sampai tahun keempat pernikahan, saya masih pengen kerja di kantor. Saya pernah nekat ikutan tes CPNS, padahal anak-anak masih umur empat dan tiga tahun. Saya nggak punya pembantu rumah tangga, terus siapa yang nanti jagain anak-anak? Ah, saya nggak pikirin! Pokoknya, saya mau kerja! Lebih enak kerja di kantor dapat gaji, daripada di rumah mengurus anak-anak dan nggak dibayar. Di kantor, saya bisa duduk santai depan komputer tanpa perlu mendengar tangisan dan teriakan anak-anak. Pengalaman saya sih begitu waktu ngantor dulu. Beda ya kalau kerja lapangan. Eh, ternyata saya nggak lulus. Lalu saya berpikir, yah mungkin memang maunya Allah Swt begini, saya tetap di rumah, mengurus anak-anak. Mungkin juga suami lebih ridho saya di rumah, walaupun dia mengizinkan saya ikut tes CPNS (bisa aja itu cuma di mulut). Sejak itu, saya nggak kepikiran lagi mau kerja di kantor dan berusaha menciptakan pekerjaan dari dalam rumah.
Pekerjaan rumah tangga yang paling berat adalah menyetrika. Setrikaan numpuk terus, padahal udah saya setrika tiap dua hari sekali. Kalau nggak disetrika, nggak enak karena lembab. Sekarang kan sering hujan, jadi mataharinya sedikit. Baju kantor suami dan sekolah anak-anak itu prioritas utama untuk disetrika. Belum lagi waktu nyetrika itu nggak cukup dua jam. Awal-awal nggak ada pembantu, saya sempat mandeg menulis dan ngeblog karena nggak ada waktu. Ngeblognya seminggu sekali, malah sering ketinggalan ikut lomba karena nggak sempat mikir. Sekalinya ikutan, eh nggak menang, wkwkwk... Apes banget, yaah... Apa boleh buat, today, this is my destiny! Saya yakin semua ibu yang nggak punya pembantu, juga merasakannya.
Pekerjaan rumah tangga ini kan nggak dibayar. Udah gitu, untuk mengerjakannya membuat saya kehilangan banyak waktu untuk bekerja (nulis, ngeblog) yang memungkinkan saya mendapatkan penghasilan tambahan. Kemarin ada sih yang nawarin pembantu lagi, tapi katanya orangnya sering pinjam uang. Bukan apa-apa, pembantu yang lama pun masih meninggalkan utang. Saya juga nggak mudah cocok dengan pembantu rumah tangga. Si Bibi yang kemarin itu satu-satunya yang cocok dari beberapa orang yang pernah kerja dengan saya. Saya juga malas mengajari dari awal, karena setiap pembantu itu perlu dikasihtahu lagi. Misalnya, gimana pakai mesin cuci, nyapunya mulai dari mana, gimana melipat setrikaan, nyuci piring yang bersih, dan sebagainya. Urusan setrikaan, ada lho pembantu yang asal melipat, kayak nggak pernah kerja. Bukannya rapi, malah berantakan. Mending saya kerjain sendiri deh, biar cape tapi puas hehehe.....
Sejak nggak ada si bibi, saya juga jadi nggak bisa ke mana-mana di hari kerja, padahal sebelumnya saya udah bisa ikut kegiatan blogger di hari kerja. Saya harus di rumah menunggui anak-anak, karena usia mereka masih kecil dan belum ditinggal. Maka, saya bersyukur sekali, Asma bin Yazid pernah menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Apa pahala yang diterima oleh seorang ibu rumah tangga yang gerak langkahnya terbatas karena terkurung di dalam rumah dan harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang melelahkan? Ternyata, pahalanya sama dengan berjihad! Berjihad itu berperang di jalan Allah, yang mana berperang itu membutuhkan pengorbanan jiwa dan raga. Hadist di atas adalah hiburan buat saya saat sedang dirundung kesedihan dan kekesalan karena masih saja melakukan pekerjaan yang bagi sebagian orang "tidak ada artinya" ini. Jadi, mengapa kita nggak bisa menjadi ibu rumah tangga yang bahagia? Dapat pahala jihad, lho! Tahu nggak pahala jihad itu apa? Masuk surga tanpa dihisab. Ya, tapi itu kalau kita ikhlas dan nggak ngeluh hehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar