Kamis, 31 Desember 2015

Tukang Pijat dalam Cerpen Berlatar Minang Karya Novia Syahidah



Nama Novia Syahidah bukan nama yang asing bagi saya. Beliau adalah penulis kenamaan pada zamannya. Zaman kapan? Zaman FLP (Forum Lingkar Pena) sedang jaya-jayanya. Saat itu, saya masih seorang penulis pemula yang berharap nama saya tercantum pada buku karya saya. Penulis-penulis FLP sedang mendapatkan tempat di hati para penerbit, salah satunya, Novia Syahidah. Saya kagum dengan beliau ini karena dulu sangat produktif menerbitkan novel, apalagi novel-novelnya tidak sembarangan. Ditulis dengan riset yang kuat, dengan latar tempat yang tidak biasa. 


Novia Syahidah berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat, daerah yang terkenal produktif menelurkan penulis-penulis berbakat dan legendaris, salah satunya Marah Roesli, penulis novel “Siti Nurbaya.” Novia Syahidah seketika membuat gebrakan, ketika karyanya muncul di Majalah Annida, majalah yang membidani kelahiran FLP. Saat itu, Majalah Annida digawangi oleh Helvy Tiana Rosa, penulis yang namanya juga sudah asing lagi. Cerita bersambung yang judulnya “Putri Kejawen,” banyak mendapatkan pujian di antara para penulis FLP. Eh, kok saya tahu? Ya, karena saya juga sudah bergabung di FLP cabang Semarang, dan nama Novia Syahidah termasuk santer diperbincangkan. 

Kemudian, cerpen-cerpen Novia Syahidah pun sering muncul di Majalah Annida dan acap kali menjadi cerpen utama saking bagusnya. Salah satu kelebihan Novia Syahidah adalah menulis cerpen bernuansa lokal yang kuat, diantaranya: tanah kelahirannya sendiri, Padang, lalu Melayu, Jawa, dan pernah juga daerah-daerah di luar negeri. Semuanya bernuansa lokal yang kuat. Saat itu, saya masih merasa berat menyerap pesan yang disampaikan Novia, karena tingkat sastranya relatif lebih tinggi. Saya masih lebih suka membaca cerpen-cerpen pop yang ringan. 

Kini, saya membaca lagi cerpen Novia Syahidah yang dimuat di blognya: www.tintaperak.com. Kesempatan bagus buat kita yang ingin belajar menulis cerpen dengan nuansa lokal yang kuat. Uni Novia ini sering menjuarai lomba menulis cerpen sastra. Salah satu cerpen yang saya baca berjudul, “Tukang Pijat.” Cerpennya bisa dibaca di sini, http://tintaperak.com/tukang-pijat/Sama halnya dengan sebagian besar cerpen Novia, cerpen yang satu ini juga berlatar di Minang, meski tak disebutkan kampungnya apa. Alkisah, Buyung Kundan yang telah kembali ke kampungnya setelah sepuluh tahun di rantau, merasa tubuhnya pegal-pegal dan ingin dipijat. Masalahnya, tukang pijat terkenal di kampungnya adalah ibunya sendiri, yang dipanggil “Amak.” Buyung merasa tak enak hati menyuruh ibunya untuk memijitinya. Apalagi, ibunya itu sering membicarakan soal jodoh. 

Buyung pernah sempat dijodohkan dengan gadis sekampungnya, sedangkan ia jatuh cinta kepada gadis di rantau. Amaknya menolak gadis yang diinginkannya itu karena lebih senang anaknya menikah dengan gadis satu suku. Ternyata masalahnya bukan itu saja. Amaknya baru memberitahu alasan sebenarnya, ketika mendatangkan tukang pijat yang “pekak” atau tak bisa mendengar dan membuat Buyung kesal karena tukang pijat itu tak bisa diajak berkomunikasi. Amaknya pun mengatakan bahwa alasannya tidak mau menerima menantu dari daerah lain adalah karena ia tak bisa fasih berbicara bahasa Indonesia. Ia khawatir kelak kesulitan berkomunikasi dengan menantunya karena kendala bahasa itu. 

Membaca cerita yang sederhana tetapi mengena ini, membuat saya tertawa sendiri. Alasan yang Amak Buyung sampaikan itu persis sama dengan alasan ibu mertua saya, ketika ragu-ragu menerima saya sebagai menantu. Ibu mertua saya juga kurang fasih berbicara bahasa Indonesia, terbiasa berbahasa Sunda. Sedangkan saya tidak bisa bahasa Sunda, karena orang Jakarte. Ibu mertua saya juga sempat mengatakan kepada suami saya, bahwa beliau lebih suka mendapatkan menantu sesama orang Garut, supaya lebih enak ngobrolnya. Alhamdulillah, walaupun begitu, pernikahan kami tak dihalangi sehingga saya tetap dapat menikah dengan suami. Memang, di awal berkomunikasi dengan ibu mertua, beliau sering kesulitan mencari padanan kata bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia. Saya pun terpaksa harus pintar-pintar mencerna maksud perkataannya yang campur aduk antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Alhamdulillah, lho, sekarang ibu mertua sudah lebih fasih berbahasa Indonesia. 

Kembali lagi ke cerpen “Tukang Pijat” karya Uni Novia Syahidah ini. Ternyata, untuk menulis cerpen itu tak perlu susah-susah, kita bisa mengangkat tema keseharian dipadukan dengan budaya lokal yang mudah dipahami pembaca dari berbagai daerah. Amanat yang bisa saya tangkap dalam cerpen ini adalah, bagi siapa pun Anda yang ingin menikah dan sudah memiliki calon pilihan sendiri, jangan langsung menyerah bila calon tersebut tidak disetujui oleh orangtua. Contohlah suami saya, eh, ya contoh yang paling dekat adalah suami saya saat dulu memperjuangkan saya agar diterima di dalam keluarga besarnya. Selama alasan orangtua itu bukan sesuatu  yang prinsip dan masih bisa didiskusikan, tak mengapa. Kita juga harus menyadari konsekuensi dari pilihan tersebut. Jika nanti di depannya ada sesuatu, jangan salahkan orangtua. Pada dasarnya orangtua itu hanya ingin menguji sejauhmana kesungguhan kita dalam memperjuangkan calon pasangan hidup kita itu. Kasihan kan kalau hanya gara-gara komunikasi, kemudian menjomblo terus seperti Buyung.  


http://tintaperak.com/giveaway-tinta-perak/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar