Kamis, 31 Desember 2015

Berbagi Kasih Sayang Melalui Bulan Dana PMI


Sumber Gambar: Twitter PMI DKI Jakarta

“Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya penduduk yang ada di langit akan menyayangimu.” (Hadist Riwayat Ath Thabrani).


Kita baru saja mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bagi penganut agama Islam, mengenang hari lahir Nabi Muhammad SAW saja tidaklah cukup. Semestinya kita melakukan segala sesuatu yang dianjurkan oleh beliau, salah satunya seperti yang tersebut dalam hadist di atas. Nabi Muhammad SAW mengajak umatnya untuk saling menyayangi. Barangsiapa menyayangi makhluk yang ada di bumi, maka akan disayangi oleh para penduduk langit. Yang dimaksud penduduk langit adalah Allah Swt dan para malaikatnya. Jadi, agama Islam itu mengajarkan kasih sayang, tak hanya kepada sesama manusia melainkan juga makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan.

Nah, salah satu bentuk kasih sayang terhadap sesama manusia adalah dengan melakukan donor darah. Saya sering mendapatkan pesan berantai dari keluarga pasien yang sedang membutuhkan darah golongan tertentu, karena rumah sakit tempat pasien tersebut dirawat sedang kehabisan stok darah. Ternyata, meskipun Palang Merah Indonesia rutin mengadakan donor darah, stok darah tak selalu tersedia. Itu berarti dibutuhkan kepedulian kita, terutama mereka yang memiliki golongan darah terbatas, agar rutin mendonorkan darahnya. Suami saya termasuk orang yang punya golongan darah terbatas, maksudnya tidak banyak orang yang memiliki golongan darah tersebut, yaitu golongan darah A. Suami saya menyadari bahwa darahnya sangat dibutuhkan dan dia pun termasuk sehat untuk melakukan donor. Sudah beberapa kali suami saya mendonorkan darahnya. Selain diniatkan untuk menolong, suami saya juga merasakan manfaat dari mendonorkan darah.

Suami saya memiliki riwayat kolesterol tinggi, karena kebiasaan keluarga besarnya yang suka mengonsumsi daging domba. Maklum, orang Garut. Darah, terutama sel darah merah merupakan sel yang mengandung hemoglobin yang terbentuk dari zat besi dan berfungsi mengikat oksigen. Kebutuhan akan zat besi ini diperoleh dari makanan. Zat besi yang berasal dari daging itu bila sudah menumpuk akan meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh dan mengoksidasi kolesterol. Kolesterol yang teroksidasi ini akan mengendap di dinding pembuluh darah dan menimbulkan plak, sehingga memicu penyakit jantung koroner (sumber data: di sini).  Baru beberapa minggu lalu, paman suami saya meninggal dunia karena penyakit jantung di usia 50-an.  Saya mesti hati-hati benar menjaga suami saya agar kolesterolnya tidak naik. 

Untuk itulah, suami saya rutin melakukan donor darah, agar regenerasi darah dapat berlangsung lebih cepat dan oksidasi kolesterol melambat. Aliran darah juga lebih lancar serta mencegah penimbunan lemak hasil oksidasi kolesterol pada dinding pembuluh darah jantung sehingga dapat mengurangi risiko munculnya penyakit jantung koroner. Memang, setelah melakukan donor darah, suami saya merasa lebih segar. Pusing di kepalanya pun hilang. Apalagi kalau mengingat betapa darahnya sangat berharga, karena terbatas. 

Saya sendiri sampai hari ini belum berani melakukan donor darah, walaupun sudah sering diajak oleh suami. Bagi kita yang belum bisa melakukan donor darah, kita tetap bisa membantu kegiatan Palang Merah Indonesia. Kegiatan PMI bukan hanya mengumpulkan stok darah, lho. Sukarelawan PMI yang tersebar di berbagai pelosok tanah air, selalu sigap melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, seperti memberikan bantuan materi dan tenaga dalam bencana-bencana alam, bencana asap, kebakaran, melakukan bakti sosial, menyediakan ambulans untuk membawa orang sakit atau jenazah, memberikan pelatihan-pelatihan untuk para relawan, membersihkan sampah dan lingkungan, sosialisasi kesehatan, membagi-bagikan masker untuk para pengendara jalan raya, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. 


Untuk itulah, PMI mengadakan Bulan Dana PMI di mana kita bisa menyalurkan sumbangan berupa uang melalui rekening-rekening sebagai berikut: 


  • Bank BCA Kantor Cabang Utama Thamrin Nomor Rekening: 206-38-1794-5 atas nama PMI DKI Jakarta Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank Mandiri Kantor Cabang Kramat Raya Nomor Rekening: 123-00-17091945 atas nama PMI DKI Jakarta Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank DKI Kantor Cabang Utama Juanda Nomor Rekening: 101-03-17094-7 atas nama PMI DKI Jakarta Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta. 


Jadi, tunggu apa lagi? Ayo peduli bantu sesama dengan melakukan donasi ke PMI melalui nomor rekening di atas!


 http://citizen6.liputan6.com/read/2356908/yuk-ikut-lomba-blog-bulan-dana-pmi-berhadiah-total-rp-15-juta

Tukang Pijat dalam Cerpen Berlatar Minang Karya Novia Syahidah



Nama Novia Syahidah bukan nama yang asing bagi saya. Beliau adalah penulis kenamaan pada zamannya. Zaman kapan? Zaman FLP (Forum Lingkar Pena) sedang jaya-jayanya. Saat itu, saya masih seorang penulis pemula yang berharap nama saya tercantum pada buku karya saya. Penulis-penulis FLP sedang mendapatkan tempat di hati para penerbit, salah satunya, Novia Syahidah. Saya kagum dengan beliau ini karena dulu sangat produktif menerbitkan novel, apalagi novel-novelnya tidak sembarangan. Ditulis dengan riset yang kuat, dengan latar tempat yang tidak biasa. 


Novia Syahidah berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat, daerah yang terkenal produktif menelurkan penulis-penulis berbakat dan legendaris, salah satunya Marah Roesli, penulis novel “Siti Nurbaya.” Novia Syahidah seketika membuat gebrakan, ketika karyanya muncul di Majalah Annida, majalah yang membidani kelahiran FLP. Saat itu, Majalah Annida digawangi oleh Helvy Tiana Rosa, penulis yang namanya juga sudah asing lagi. Cerita bersambung yang judulnya “Putri Kejawen,” banyak mendapatkan pujian di antara para penulis FLP. Eh, kok saya tahu? Ya, karena saya juga sudah bergabung di FLP cabang Semarang, dan nama Novia Syahidah termasuk santer diperbincangkan. 

Kemudian, cerpen-cerpen Novia Syahidah pun sering muncul di Majalah Annida dan acap kali menjadi cerpen utama saking bagusnya. Salah satu kelebihan Novia Syahidah adalah menulis cerpen bernuansa lokal yang kuat, diantaranya: tanah kelahirannya sendiri, Padang, lalu Melayu, Jawa, dan pernah juga daerah-daerah di luar negeri. Semuanya bernuansa lokal yang kuat. Saat itu, saya masih merasa berat menyerap pesan yang disampaikan Novia, karena tingkat sastranya relatif lebih tinggi. Saya masih lebih suka membaca cerpen-cerpen pop yang ringan. 

Kini, saya membaca lagi cerpen Novia Syahidah yang dimuat di blognya: www.tintaperak.com. Kesempatan bagus buat kita yang ingin belajar menulis cerpen dengan nuansa lokal yang kuat. Uni Novia ini sering menjuarai lomba menulis cerpen sastra. Salah satu cerpen yang saya baca berjudul, “Tukang Pijat.” Cerpennya bisa dibaca di sini, http://tintaperak.com/tukang-pijat/Sama halnya dengan sebagian besar cerpen Novia, cerpen yang satu ini juga berlatar di Minang, meski tak disebutkan kampungnya apa. Alkisah, Buyung Kundan yang telah kembali ke kampungnya setelah sepuluh tahun di rantau, merasa tubuhnya pegal-pegal dan ingin dipijat. Masalahnya, tukang pijat terkenal di kampungnya adalah ibunya sendiri, yang dipanggil “Amak.” Buyung merasa tak enak hati menyuruh ibunya untuk memijitinya. Apalagi, ibunya itu sering membicarakan soal jodoh. 

Buyung pernah sempat dijodohkan dengan gadis sekampungnya, sedangkan ia jatuh cinta kepada gadis di rantau. Amaknya menolak gadis yang diinginkannya itu karena lebih senang anaknya menikah dengan gadis satu suku. Ternyata masalahnya bukan itu saja. Amaknya baru memberitahu alasan sebenarnya, ketika mendatangkan tukang pijat yang “pekak” atau tak bisa mendengar dan membuat Buyung kesal karena tukang pijat itu tak bisa diajak berkomunikasi. Amaknya pun mengatakan bahwa alasannya tidak mau menerima menantu dari daerah lain adalah karena ia tak bisa fasih berbicara bahasa Indonesia. Ia khawatir kelak kesulitan berkomunikasi dengan menantunya karena kendala bahasa itu. 

Membaca cerita yang sederhana tetapi mengena ini, membuat saya tertawa sendiri. Alasan yang Amak Buyung sampaikan itu persis sama dengan alasan ibu mertua saya, ketika ragu-ragu menerima saya sebagai menantu. Ibu mertua saya juga kurang fasih berbicara bahasa Indonesia, terbiasa berbahasa Sunda. Sedangkan saya tidak bisa bahasa Sunda, karena orang Jakarte. Ibu mertua saya juga sempat mengatakan kepada suami saya, bahwa beliau lebih suka mendapatkan menantu sesama orang Garut, supaya lebih enak ngobrolnya. Alhamdulillah, walaupun begitu, pernikahan kami tak dihalangi sehingga saya tetap dapat menikah dengan suami. Memang, di awal berkomunikasi dengan ibu mertua, beliau sering kesulitan mencari padanan kata bahasa Sunda dalam bahasa Indonesia. Saya pun terpaksa harus pintar-pintar mencerna maksud perkataannya yang campur aduk antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Alhamdulillah, lho, sekarang ibu mertua sudah lebih fasih berbahasa Indonesia. 

Kembali lagi ke cerpen “Tukang Pijat” karya Uni Novia Syahidah ini. Ternyata, untuk menulis cerpen itu tak perlu susah-susah, kita bisa mengangkat tema keseharian dipadukan dengan budaya lokal yang mudah dipahami pembaca dari berbagai daerah. Amanat yang bisa saya tangkap dalam cerpen ini adalah, bagi siapa pun Anda yang ingin menikah dan sudah memiliki calon pilihan sendiri, jangan langsung menyerah bila calon tersebut tidak disetujui oleh orangtua. Contohlah suami saya, eh, ya contoh yang paling dekat adalah suami saya saat dulu memperjuangkan saya agar diterima di dalam keluarga besarnya. Selama alasan orangtua itu bukan sesuatu  yang prinsip dan masih bisa didiskusikan, tak mengapa. Kita juga harus menyadari konsekuensi dari pilihan tersebut. Jika nanti di depannya ada sesuatu, jangan salahkan orangtua. Pada dasarnya orangtua itu hanya ingin menguji sejauhmana kesungguhan kita dalam memperjuangkan calon pasangan hidup kita itu. Kasihan kan kalau hanya gara-gara komunikasi, kemudian menjomblo terus seperti Buyung.  


http://tintaperak.com/giveaway-tinta-perak/
 

Rabu, 30 Desember 2015

Gramedia dan Dunia Digital, Melejitkan Mimpi!



Mataku terpaku pada logo yang terpampang di sampul buku yang kupegang. Entah sudah berapa buku yang kulihat selalu memakai logo itu di atas kanan sampulnya. GM atau Gramedia. Logo yang sama kudapati kala aku memasuki toko buku besar di kotaku. Toko buku Gramedia. Aku membesar bersama Gramedia, kecintaanku kepada buku-buku semakin menjadi setiap kali kususuri deretan buku terbitan Gramedia yang menerbitkan naluri. Sebagai pembaca, tak sedikit buku-buku terbitan Gramedia yang menginspirasiku untuk menulis, terutama novel. 


Aku membaca novel-novel lokal karya penulis-penulis legendaris Gramedia seperti Mira W, Maria A. Sardjono, V. Lestari, Remy Silado, sampai Hilman. Karya Remy Silado seperti Kembang Jepun dan Ca Bau Kan benar-benar membekas, membuatku ingin menulis seperti beliau. Kusisihkan uang sakuku setiap bulan demi membeli novel-novel itu, bagiku itu adalah investasi. Aku juga membaca karya para penulis populer yang ngetop di awal tahun 2000-an, seperti Albertiene Endah, Dewi Sekar, Primadonna Angela, Okki Madasari, dan banyak lagi nama yang membuatku bermimpi menerbitkan buku di Gramedia. Novel-novel impor yang diterbitkan Gramedia pun telah banyak yang kulahap: John Grisham, JK. Rowling, Sydney Sheldon, Agatha Christie, dan lain-lain. Kisah-kisah yang mereka tuliskan memberikan inspirasi tak bertepi kepadaku, sehingga aku dapat mengembangkan imajinasi yang kutuliskan ke dalam novel-novelku sendiri. Memang,  novel-novelku belum sesempurna mereka, itulah mengapa aku masih harus terus membaca karya para penulis kenamaan Gramedia agar dapat menyusul jejak mereka. 


Namun, melihat namaku tercetak di sampul buku Gramedia ibarat panggang jauh dari api. Telah ratusan buku Gramedia yang kubaca dan telah kucoba mengirimkan beberapa printout naskahku ke Gramedia, semua dikembalikan dengan sukses. Sementara, kulupakan niatan menerbitkan buku di Gramedia. Cukuplah aku berdiri sebagai pembaca, hingga anak-anakku pun kuajari menjadi predator buku. Anak-anakku selalu senang saat kuajak ke toko buku Gramedia. Mereka berteriak kegirangan, lalu mulai berlarian memilah dan memilih buku-buku anak yang terpajang di rak-rak buku. Beberapa kali kujejakkan kaki di Gramedia, bukan sebagai pembaca, melainkan penulis yang sedang meluncurkan novel terbarunya. Bukan terbitan Gramedia. Namaku memang belum seterkenal penulis-penulis yang namanya kusebutkan di atas itu. Aku masih bermimpi bisa menerbitkan buku di Gramedia, bagaimana caranya kita lihat saja nanti. Aku percaya, Tuhan akan menjawab mimpi-mimpi kita bila kita mau terus berusaha. 

Tahun 2014, mimpi itu akhirnya terwujud. Novel pertamaku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pun terbit setelah melalui proses penerbitan selama beberapa bulan. Mataku berkaca-kaca melihat novelku memakai logo GM. Tak hanya itu, beberapa kali aku mendapatkan mention dari akun twitter dan facebook Gramedia yang mempromosikan novelku. Walaupun tak segencar penulis lain yang jauh lebih terkenal, aku bersyukur namaku pernah ada di dalam database penulis-penulis Gramedia. Zaman telah berubah. Teknologi berkembang cepat. Dunia digital telah memudahkan interaksi antara penerbit, penulis, dan pembaca. Gramedia dengan teknologi digitalnya berusaha memajukan para penulis dan mempererat interaksi dengan pembaca. Gramedia membuat lomba #ResensiPilihan dengan memilih resensi buku Gramedia terbaik setiap minggunya. Novelku pun diresensi oleh seorang penulis Gramedia juga, Riawani Elyta, dan berhasil menjadi resensi terbaik. 


Respon para pembaca bukuku pun kini disampaikan melalui facebook, twitter, dan sosial media lainnya. Bandingkan dulu sebelum internet berjaya. Buku-buku hanya direspon melalui email. Aku pun tidak tahu bagaimana penerbit mempromosikan bukuku, kecuali dengan dipajang di toko buku-toko buku. Aku juga sering menerima pertanyaan dari para pembaca, bagaimana cara membeli bukuku. Seringkali mereka kesulitan membeli di toko buku, karena terlalu banyaknya buku yang berjejalan di rak-raknya. Sering juga bukuku belum ada di toko buku, sehingga mereka lelah mencari. Buku-buku terbitan Gramedia bisa dibeli di www.gramedia.com dan mendapatkan diskon pula, dibandingkan dengan membeli di toko buku. Gramedia cepat tanggap melihat kebutuhan pasar. Atas nama kepraktisan, kini banyak orang yang malas melangkahkan kaki ke toko buku. Gramedia membuat toko buku online untuk memenuhi permintaan pembaca yang malas ke toko buku, juga para pembaca yang kesulitan mengakses toko buku Gramedia.


Teman-temanku yang berada di ujung pulau, seperti Kalimantan, Sulawesi, pelosok Aceh, dan lain-lain, sangat diuntungkan dengan kehadiran toko buku online. Memang ada toko buku Gramedia, tetapi hanya di pusat kota. Pengalaman temanku yang tinggal di Kalimantan, dia harus menempuh perjalanan tiga jam untuk bisa mencapai toko buku Gramedia di kotanya. Belum lagi harga buku di toko tersebut jauh lebih mahal, karena mungkin ditambah dengan biaya transportasi antar pulau. Lebih baik membayar ongkos kirim dari Jakarta daripada membeli langsung di tokonya. Sebagai penulis sekaligus pembaca, aku sangat diuntungkan dengan transformasi Gramedia, yang tak hanya meluas di dunia nyata melainkan juga dunia digital.   

Resolusi yang Gagal Itu akan Menjadi Resolusi 2016


Berat badan bertambah puluhan kilo, pipi makin tembem :D

Assalamu’alaikum… Nggak terasa kita sudah sampai di penghujung tahun 2015. Sudah banyak waktu yang terlewatkan umur kita pun semakin berkurang. Apa resolusiku tahun 2016? Nah, itu dia… sepertinya masih sama dengan resolusi tahun 2015 karena yang dulu itu masih gagal, hehe…. Sebelum ngomongin resolusi yang gagalnya, lebih baik ngomongin yang berhasil dulu ya sebagai tanda bahwa kita mensyukuri apa yang sudah diberikan-Nya. 


Pertama, membuka kelas menulis novel online. Alhamdulillah, resolusi yang ini sudah tercapai dan kelasnya sudah dibuka sampai angkatan ketiga. Padahal, tadinya saya dan Riawani Elyta hanya coba-coba, merasa bahwa kami belum terkenal sekali sebagai penulis novel. Bisa saja kan saat kami membuka kelas menulis  novel itu, ada yang bertanya-tanya, “Ih, siapa pula mereka udah berani buka kursus novel?” Ternyata, cukup banyak juga peserta yang mendaftar, sampai kami membuka tiga kali pendaftaran. Untuk tahun depan juga sudah ada yang bertanya kapan dibuka lagi, tapi nunggu waktunya siap. 

Kedua, menang lomba blog. Tetep ya, masih kepengen menang lomba blog. Alhamdulillah masih dikasih kesempatan untuk merasakan kemenangan, meskipun yang gagalnya jauh lebih banyak. Menang lomba blog itu bukan hanya sensasi dapat hadiahnya saja yang menyenangkan, tapi juga kemenangan tersebut bisa menjadi tambahan portofolio buat saya, siapa tahu nanti mau melamar pekerjaan di mana gitu, hehe….

Ketiga, lebih banyak waktu untuk anak-anak. Tahun 2015 ini saya nggak ngoyo menulis, sehingga buku saya pun nggak ada yang terbit. Memang saya ingin meluangkan lebih banyak waktu untuk anak-anak. Walaupun saya kerja dari rumah, tetap saja saya sering mengabaikan anak-anak saking asyiknya menulis. Anak-anak sering protes kalau ibunya pegang hape dan laptop terus. Kuncinya, saya berlangganan paket internet yang pas-pasan, jadi nggak sering-sering buka hape. Laptop pun lebih sering dibuka kalau anak-anak sudah tidur. 

Keempat, mengikuti even-even blogger. Harapan saya memang bisa lebih aktif mengikuti blogger gathering untuk menambah pengalaman dan portofolio, tapi juga nggak sering-sering. Kalau keseringan, sama saja saya mengabaikan anak-anak. Biarlah saya dibilang blogger pemilih, karena memang nggak semua acara bisa diikuti, terutama yang jatuh pada hari kerja. Saya hanya bisa ikut di hari Sabtu atau Minggu, itupun nggak setiap minggu. Harus dapat izin suami. Jadi, acaranya pun pilih-pilih juga yang sesuai dengan isi blog saya (misal, parenting dan ilmu ngeblog). Kalau sekadar launching produk yang nggak menarik minat saya, akan saya skip. 

Mengikuti salah satu even blogger, tambah teman tambah rezeki :D
RESOLUSI YANG GAGAL??? 

Ada banyak juga resolusi yang gagal, mudah-mudahan tahun 2016 saya bisa menggolkannya supaya nggak jadi pepesan kosong. 

Pertama, menurunkan berat badan. Berat badan saya sudah luar biasa nambahnya. Nggak usah dikasih tahu deh, malu-maluin aja. Saya sudah pernah mencoba diet mayo dan food combining, juga berolahraga. Saya juga mencoba minum susu pelangsing dan teh hijau, eh nggak turun satu kilo pun!

Kopi dan kue manis, penyebab gagal diet
Kedua, menyelesaikan satu novel. Ada tiga draft novel yang semuanya baru sampai sekitar 80-90 halaman. Susah sekali meneruskannya sampai akhir. Phiuuh….

Ketiga, dapat hadiah laptop dari lomba blog. Sebenarnya sih saya nggak butuh-butuh amat laptopnya, paling-paling buat ngegantiin laptop ini yang sudah terinfeksi virus. Laptop ini hadiah dari suami dan umurnya sudah dua tahunan. Salah satu tuts keyboardnya sudah hilang dicongkel si bungsu. Laptopnya juga sudah error karena virus, jadi susah buka website atau blog dari laptop. Memiliki laptop dari hasil lomba blog memang obsesi yang belum kesampaian dari kapan tahu. Saking belum kesampaian, akhirnya suami yang membelikan hehehe.... Susah deh menang hadiah laptop, mana jarang pula lomba yang kasih hadiah laptop hehehe… 

Laptop hadiah suami yang sudah terinfeksi virus
Mengapa bisa gagal? Pertama, kurang usaha. Program penurunan berat badan itu rata-rata hanya berlangsung satu bulan, setelah itu nyerah. Ya gimana mau langsing? Emangnya berat badan bisa turun hanya dalam waktu sebulan? Saya juga susah mengendalikan nafsu ngemil dan minum kopi, padahal justru dari situlah timbunan lemak berasal. Kalau makan nasi sih bisa ngurangi, tapi kalau masih ngemil dan minum kopi manis ya sama saja bohong. 

Saya juga kurang usaha menyelesaikan satu novel. Malas, itu alasannya. Nulis novel itu butuh konsentrasi, nah biasanya baru bisa konsentrasi kalau anak-anak nggak mengganggu. Sering kali anak-anak tidur kalau sudah malam, sementara saya juga sudah ngantuk. Selain itu, yang kedua, saya juga kurang fokus. Pas ada waktu, malah nulis untuk lomba blog. Antara menulis novel dan lomba blog itu sama-sama menarik, tapi akhirnya yang menang ya lomba blog. Pertimbangannya begini, lomba blog itu cepat dikerjakannya, hanya beberapa halaman. Pengumuman pemenangnya juga cepat dan hadiahnya  pun cepat. Sedangkan nulis novel itu harus 150 halaman, butuh waktu yang hening, proses di penerbitnya pun nggak cukup satu bulan. Belum nerima royaltinya juga mesti sabar. 

Jujur deh, nulis fiksi dan nonfiksi itu lebih gampang nonfiksi. Kalau nulis fiksi itu, diksinya harus benar-benar dipikir supaya nggak biasa. Belum lagi jalan ceritanya mesti  out of the box. Kalau nulis nonfiksi, kita bisa pakai bahasa sehari-hari. Dalam kondisi saya sekarang ini yang mana waktu untuk menulis itu hanya beberapa jam dalam sehari (sering juga nggak bisa nulis sama sekali), saya kesulitan berpikir lama untuk menulis fiksi. Lain halnya dengan nonfiksi, dalam waktu dua jam pun sudah bisa selesai satu artikel. Mungkin nanti kalau anak-anak sudah besar, insya Allah saya bisa punya lebih banyak waktu untuk menulis fiksi. Sekarang ini saya nyicil sedikit-sedikit nulis fiksi, kalau pikiran sedang fresh dan ada waktu yang cukup  banyak. 

Mengapa saya belum bisa dapat laptop juga dari lomba blog? Ya, mungkin karena Allah melihat saya belum membutuhkannya. Selain itu, saya sering melewatkan lomba blog yang berhadiah laptop. Lah,  gimana bisa dapat? Apalagi lomba blog berhadiah laptop itu sangat jarang. Tapi, saya percaya dengan sugesti, karena sudah beberapa kali  berhasil. Saat kita menginginkan sesuatu, tanamkan dalam hati bahwa kita menginginkannya. Usaha juga jangan lupa. Tak ada hasil tanpa usaha. Insya Allah, diperkenankan.

Sudah siap mewujudkan resolusi 2016? Eit, tunggu dulu… kira-kira mau saya tambah nggak ya resolusinya? Nggak hidup namanya kalau nggak ada tantangan! Ciee…..


http://tintaperak.com/giveaway-tinta-perak/